Kuala Lumpur (ANTARA) - Tarif sepihak dengan cakupan luas yang diberlakukan oleh pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akan menyebabkan masalah jangka pendek bagi sektor-sektor tertentu dari negara-negara yang berorientasi ekspor di Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), tetapi seiring waktu akan kehilangan kekuatannya mengingat ketangguhan yang dimiliki negara-negara tersebut, menurut para analis.
"Dampak langsung dari tarif ini adalah harga yang lebih tinggi, yang nantinya akan memicu permintaan yang lebih rendah untuk sebagian besar barang, mengakibatkan penurunan ekspor dari perekonomian-perekonomian Asia," kata Yeah Kim Leng, profesor ekonomi di Universitas Sunway di Malaysia, dalam sesi wawancara dengan Xinhua.
"Yang lebih mengkhawatirkan, meningkatnya ketidakpastian kebijakan mengakibatkan penghindaran risiko serta hilangnya keyakinan investor dan konsumen, sehingga menyebabkan berkurangnya belanja konsumen dan bisnis dan pada akhirnya kontraksi ekonomi dalam ekonomi dunia yang mengglobal," tambahnya.
Sementara itu, Profesor Roy Anthony Rogers, wakil direktur eksekutif di Institut Asia-Eropa Universiti Malaya, mengemukakan bahwa tarif-tarif ini pasti akan menyebabkan gangguan rantai pasokan dan perdagangan jangka pendek.
"Karena kita hidup dalam ekonomi global, tindakan seperti itu akan memicu efek domino karena ketergantungan rantai pasokan dan keterkaitan aliran modal," katanya kepada Xinhua.
SEKTOR-SEKTOR UTAMA HADAPI RISIKO
Yeah menyebutkan bahwa perekonomian-perekonomian ASEAN mengandalkan industri yang bergantung pada ekspor, yang memiliki investasi modal besar dan gearing yang tinggi, serta proyek-proyek infrastruktur skala besar dengan pinjaman luar negeri yang besar pula, menjadikan mereka sangat rentan terhadap ledakan "perang tarif-risiko keuangan".
"Industri semikonduktor dan teknologi tinggi, termasuk pusat data, rentan akan sanksi AS terhadap ekspor cip canggih. Elektronik canggih kelas atas dan rantai pasokannya juga berisiko mengalami tekanan dari reshoring Trump, sementara produk-produk lain dihadapkan pada kemungkinan tarif tinggi yang dapat menjadikannya tidak dapat diperdagangkan atau tidak kompetitif, terutama jika negara pengekspor lain berhasil menegosiasikan tarif yang lebih rendah," katanya.
Yeah juga mengamati bahwa sektor fotovoltaik surya di Malaysia sudah terdampak.
LANGKAH ASEAN UNTUK MERESPONS
Sementara itu, Roy Anthony menyebutkan bahwa negara-negara ASEAN telah bergerak untuk menanggapi ancaman ekonomi yang ditimbulkan oleh tarif tersebut. Dia menyarankan agar Malaysia, sebagai ketua ASEAN, mengadakan konferensi tingkat tinggi khusus di antara para kepala negara, menteri perdagangan, dan menteri keuangan untuk bertemu dan bernegosiasi dengan pemerintahan Trump sebagai satu blok demi memaksimalkan pengaruh mereka.
"Mungkin sudah waktunya untuk menghidupkan kembali Kaukus Ekonomi Asia Timur (East Asia Economic Caucus/EAEC 2.0) guna meningkatkan perdagangan intraregional dan mengurangi ketergantungan yang berlebihan pada pasar AS. Namun, hal ini harus melibatkan Australia dan Selandia Baru untuk menunjukkan bahwa EAEC 2.0 tidak menentang pihak Barat, melainkan sebuah langkah untuk memperkuat ketahanan kita," katanya.
Roy Anthony menambahkan bahwa negara-negara Asia Tenggara akan bergerak untuk mencari pasar alternatif. "Industri yang memiliki hubungan erat dengan AS mungkin akan terkena dampak buruk, seperti ekspor teknologi dan semikonduktor. Oleh karena itu, negara-negara Asia Tenggara harus mencari alternatif lain," jelasnya.

"Jika tidak ada deeskalasi konflik tarif, AS bisa menjadi 'titik awal' untuk krisis keuangan regional, yang juga dapat melanda negara-negara dengan utang besar yang rentan terhadap pelarian modal," katanya
Namun pada akhirnya, tarif tersebut akan melemahkan posisi ekonomi AS sendiri, karena negara-negara di ASEAN dan seluruh dunia berlomba untuk melakukan pengurangan risiko, dedolarisasi, dan membangun penghambat bagi gangguan ekonomi yang disebabkan oleh AS, langkah-langkah yang tidak akan menguntungkan Negeri Paman Sam dalam jangka panjang.
"Volatilitas pasar keuangan meningkat, dengan pasar saham dan obligasi AS mengalami kerugian besar dalam mengantisipasi dampak negatif tarif bagi AS dan ekonomi global, inflasi yang lebih tinggi, dan pergeseran dari aset dolar AS."
Lebih lanjut dikatakan Yeah, kemungkinan bahwa Krisis Keuangan Asia 1997-1998 akan terulang kembali tergolong kecil karena berkurangnya ketergantungan kawasan ini pada pinjaman luar negeri, ketahanan fiskal yang lebih kuat berkat keseimbangan fiskal yang lebih baik, dan tingkat utang pemerintah yang rendah hingga moderat.
"Selain itu, hubungan perdagangan dan investasi mereka dengan China meningkat pesat selama beberapa dekade, yang sebagian dapat melindungi masing-masing negara dari guncangan ekonomi atau keuangan AS," katanya.
Sementara itu, Roy Anthony melontarkan komentar yang lebih keras. "Yang saya takutkan adalah jika perang tarif terus berlanjut, hal itu akan menyebabkan resesi ekonomi global, dan jika tidak diselesaikan, juga dapat memicu perang, sangat mirip dengan situasi pada 1930-an," katanya memperingatkan.
Penerjemah: Xinhua
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2025