Rinjani dan mimpi kereta yang menggantung di langit

2 weeks ago 9
Jawabannya bergantung pada keberanian pemerintah dan investor untuk memulai dari pondasi paling dasar yakni kepastian hukum, kajian ilmiah, dan penghormatan terhadap alam Rinjani

Mataram (ANTARA) - Di kaki Gunung Rinjani, wacana kereta gantung selalu hadir seperti kabut yang datang dan pergi. Ia muncul dengan gegap gempita, dibicarakan sebagai terobosan pariwisata, namun kembali memudar di tengah sederet persoalan teknis dan administratif.

Sejak peletakan batu pertama pada akhir 2022, proyek yang digadang-gadang menelan investasi triliunan rupiah itu terus berada dalam pusaran ketidakpastian.

Terbaru, fakta bahwa proyek tersebut belum pernah terdaftar dalam Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission (OSS) menjadi penanda penting bahwa rencana ini sesungguhnya belum benar-benar bergerak.

Padahal dalam imajinasi pembangunan, kereta gantung dipersepsikan bisa membuka akses baru menuju Rinjani, menghadirkan alternatif bagi wisatawan yang tidak mampu mendaki, sekaligus menambah sumber pendapatan asli daerah (PAD).

Harapan itu terasa masuk akal mengingat Rinjani merupakan salah satu ikon ekowisata paling kuat di Indonesia.

Namun, antara harapan dan realisasi ada jarak yang perlu ditelaah lebih jernih. Tidak hanya soal perizinan, tetapi juga soal kesiapan investor, daya dukung lingkungan, nalar ekonomi, dan arah kebijakan daerah.

Tulisan ini mencoba membaca ulang arah proyek yang terus dibicarakan, tetapi belum menemukan kepastian pijakan.

Investasi besar

Jika ada satu hal yang paling menonjol dari rangkaian laporan resmi tentang rencana pembangunan kereta gantung di Rinjani, maka itu adalah ketidaksinkronan antara besarnya rencana investasi dan lemahnya fondasi administratif.

Investor pernah menyampaikan nilai investasinya mencapai Rp6,7 triliun, bahkan dalam beberapa pernyataan sebelumnya disebut bisa mencapai Rp15 triliun ketika digabungkan dengan akomodasi.

Jumlah itu melampaui banyak proyek pariwisata skala provinsi lain di Indonesia. Namun hingga November 2025, proyek tersebut belum tercatat di OSS, sebuah prasyarat dasar sebelum konstruksi dimulai.

Kondisi ini memperkuat kesimpulan bahwa tahapan sejak awal tidak berjalan linear. Peletakan batu pertama di masa lalu tidak diikuti langkah administratif yang semestinya; proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) berulang kali disebut sedang menunggu pembahasan; dan perubahan izin dari Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPJWA) ke Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) juga belum selesai.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |