Jakarta (ANTARA) - Neha Hub, sebuah galeri di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan, tampak sibuk bersiap menggelar pameran menjelang pergantian tahun. Di tengah hiruk pikuk proses instalasi, terpampang deretan lukisan monyet ekor panjang yang menjadi ikon wisata Ubud, Bali.
Monyet-monyet tersebut, yang bernama latin Macaca fascicularis, dilukis secara realis dengan sapuan tipis dan ringan untuk mengabadikan potret kehidupan primata itu.
"Sebenarnya lukisan-lukisan ini dibuat secara santai karena inspirasinya muncul saat rekreasi di masa pandemi. Ternyata menjadi bermakna karena banyak kisah yang terselip hingga berlanjut menjadi beberapa karya," ujar sang perupa, Vonny Ratna Indah (46), ketika ditemui Xinhua, Minggu (23/11).
Tiga lukisan yang dibuat dengan teknik akuarel dan medium utama cat air itu akan tampil dalam pameran TAKEAWAY ART #2 yang akan digelar 29 November 2025 hingga 28 Februari 2026.
Lewat keikutsertaannya, Vonny ingin mengajak para pencinta seni dan masyarakat luas untuk peduli pada kondisi hewan di sekitar, yang dalam pameran ini dia wakili melalui seri "Balinese Monkey".
"Saya berkunjung ke Ubud saat pandemi, ketika aktivitas pariwisata berhenti total. Saya menjadi saksi bagaimana monyet-monyet itu berjuang untuk survive di tengah kesulitan, terutama mencari makan demi kelangsungan hidup," ujar Vonny, yang kerap muncul dalam berbagai pemberitaan media.
Kala itu, puncak pembatasan akibat pandemi COVID-19 di Bali membuat jumlah pengunjung anjlok hampir 100 persen karena penutupan bandara dan larangan aktivitas nonesensial. Pariwisata sebagai nadi perekonomian Bali pun lumpuh dan mati suri.
Menurut Vonny, pandemi berdampak bukan hanya pada manusia, tetapi juga hewan di sekitar mereka. Monyet-monyet di Ubud menjadi contoh nyata. Dari objek wisata unggulan di masa normal, mereka menjelma menjadi hewan yang "telantar" dan kerap bersinggungan dengan manusia karena terhimpit kondisi.
"Ada alasan mengapa monyet-monyet itu turun ke jalan, mendatangi toko hingga rumah penduduk karena lapar dan kesulitan mendapatkan makanan. Biasanya wisatawan memberi makan, tetapi ketiadaan mereka sangat berpengaruh," ujar perupa berdarah Tionghoa tersebut.
Lukisan "Balinese Monkey 2" menggambarkan "potret keluarga": tiga ekor monyet, salah satunya tengah disusui induknya, sementara seekor dewasa lain tampak melindungi. Karya berukuran 29,7 x 21 cm itu menekankan pentingnya peran keluarga untuk kelangsungan hidup melalui pembagian tugas sebagaimana juga terjadi pada manusia.
"Primata secara biologis dekat dengan manusia. Melihat monyet sebagai satu kesatuan keluarga seolah mencerminkan kehidupan kita sendiri. Mereka adalah kerabat terdekat manusia di dunia hewan," jelas Vonny, yang juga dikenal sebagai pencinta dan aktivis hewan.
Lukisan monyet dengan cat air karya pelukis Vonny Ratna Indah. (Xinhua) Pada lukisan pertama dan ketiga, "Balinese Monkey 1" dan "Balinese Monkey 3", berbagai gesture seperti tatapan, gerak tangan, hingga embusan napas primata itu digambarkan untuk mewakili perjuangan mereka bertahan hidup di tengah ekosistem yang terus berubah.
"Hewan apa pun jangan selalu dilihat dari sisi liar atau galak. Ada sisi lain yang bisa digali, mulai dari kedamaian, romantisme, empati, sensitivitas hingga semangat survival, nilai-nilai yang juga seharusnya dimiliki manusia saat menghadapi situasi tak terduga," ujar lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB serta program pascasarjana IKJ itu.
Lukisan monyet dengan cat air karya pelukis Vonny Ratna Indah. (Xinhua) (Xinhua) (Xinhua)Untuk pemilihan warna dalam setiap lukisan, Vonny mengungkapkan alasan penggunaan dominasi merah muda dan hijau kecoklatan.
"Warna yang saya pilih bukan wujud riil secara kasat mata, tetapi lebih untuk menampilkan aura emosi yang muncul dari sosok mereka," jelas Vonny, yang pernah mengikuti program artist-in-residence di Korea Selatan.
Eksplorasi yang tak pernah surut itu membuat seri lukisan monyet terus berkembang hingga menjadi tiga karya. "Balinese Monkey 1" selesai pada 2022, sementara karya kedua dan ketiga masing-masing rampung pada 2023 dan 2025.
"Hidup harus tetap dinikmati meski situasi terasa berat dan seolah membuat semuanya berhenti," ujar Vonny. "Mari belajar dari hewan di sekitar kita untuk menerima setiap keadaan dengan rasa syukur, menikmati hal-hal kecil dan tetap menghasilkan di tengah kesempitan."
Saat disinggung soal stigma negatif yang sering dilekatkan pada monyet dalam ungkapan makian, Vonny memberi jawaban diplomatis penuh empati.
"Selama monyet masih diasosiasikan dengan sebutan negatif oleh oknum manusia, berarti masih ada ketidakadilan yang harus diperbaiki," ujarnya.
Pameran TAKEAWAY ART #2 sendiri kembali menggaungkan kepedulian terhadap hewan, yang diperingati setiap 4 Oktober sebagai Hari Hewan Sedunia.
Karya Vonny Ratna Indah akan dipamerkan bersama puluhan karya perupa lain yang mengusung isu serupa. Seluruh karya ditawarkan dengan harga terjangkau dan dapat langsung dibawa pulang oleh pengunjung.
Pewarta: Xinhua
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

















































