Mataram (ANTARA) - Pagi di Sembalun selalu menghadirkan pemandangan yang sama tapi tak pernah menjemukan. Kabut tipis melingkari kaki Rinjani, sementara aktivitas warga berjalan seperti siklus yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Pada jarak ratusan kilometer, Tambora menjulang di Pulau Sumbawa, menyimpan kisah letusan terbesar 1815 sekaligus memelihara ekosistem yang masih perawan.
Dua gunung ini bukan sekadar bentang alam. Ia adalah ruang hidup masyarakat, ruang belajar tentang dinamika bumi, dan ruang ekonomi bagi ribuan warga yang menggantungkan hidup pada pariwisata.
Dalam beberapa tahun terakhir, keduanya menghadapi tekanan baru. Kunjungan ke Gunung Rinjani hingga Oktober 2025 mencapai 72.528 orang pendaki dan 43.502 pengunjung non-pendakian, sebuah angka yang menunjukkan daya tariknya sekaligus beban ekologis yang harus dipikul.
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Rinjani menembus Rp21,6 miliar, sinyal kuat betapa besar kontribusinya bagi negara namun juga pengingat tentang tanggung jawab menjaga kelestariannya.
Sementara itu, Tambora menghadapi persoalan berbeda. Di balik keheningannya, kawasan ini diganggu penebangan liar, pendakian ilegal, hingga aktivitas penelitian asing tanpa izin.
Data lapangan yang terdokumentasi dalam laporan SMART Patrol di kawasan Tambora menunjukkan berbagai pelanggaran, mulai dari penebangan liar, tambang batu ilegal, hingga jalur pendakian tanpa izin yang kerap dimanfaatkan peneliti asing untuk masuk dan mempublikasikan riset tanpa melibatkan peneliti nasional.
Temuan-temuan ini menegaskan bahwa tekanan terhadap kawasan konservasi tidak hanya berasal dari aktivitas wisata, tetapi juga dari praktik-praktik ilegal yang melemahkan perlindungan hutan serta mengancam integritas pengelolaan kawasan.
Karena itu, ketika Pemerintah Provinsi NTB memperkuat pengembangan Geosite Rinjani dan Tambora, tantangannya bukan sekadar menaikkan jumlah kunjungan. Hal yang jauh lebih mendasar adalah memastikan bahwa aktivitas pariwisata dapat berjalan seiring dengan upaya konservasi dan pemberdayaan masyarakat lokal.
Tanpa keseimbangan ini, geosite berisiko menjadi arena eksploitasi baru yang merusak nilai ekologis dan sosial yang justru ingin dilestarikan.
Baca juga: Menapak aman di punggung Rinjani
Baca juga: PVMBG serukan sinergisitas untuk pantau seluruh gunung api aktif
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































