Jakarta (ANTARA) - Dunia ini bekerja dengan cara yang tak terduga, sama seperti ketika semuanya semakin terhubung, tapi justru membuat banyak individu merasa terasing.
Kemudian muncul pertanyaan yang terus bergema dalam batin banyak orang, apakah kehidupan hari ini lebih banyak menghadirkan ketenangan atau justru tekanan yang perlahan mengikis kesejahteraan mental?
Kemajuan teknologi, derasnya arus media sosial, tuntutan pekerjaan yang tak pernah mereda, tekanan ekonomi, serta relasi sosial yang kian kompleks telah menempatkan kesehatan mental sebagai isu yang tidak lagi dapat dinomorduakan.
Data dalam e-journal UNAIR menunjukkan lebih dari 31 juta penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental, terdiri dari 19 juta kasus gangguan emosional dan 12 juta depresi.
Gambaran ini selaras dengan laporan WHO yang mencatat lebih dari 1 miliar manusia di seluruh dunia hidup dengan kecemasan, depresi, atau bentuk gangguan mental lainnya.
Pada 2023, Kementerian Kesehatan menekankan urgensi penanganan kesehatan mental sejak usia remaja dan mencatat bahwa 6,1 persen penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas menghadapi gangguan mental.
Worldmetrics pun melaporkan bahwa perempuan hampir dua kali lebih rentan mengalami depresi dibanding laki-laki, 75 persen penyakit mental dimulai sebelum usia 24 tahun, dan perilaku melukai diri paling tinggi terjadi pada remaja usia 12 hingga 17 tahun.
Di balik angka-angka tersebut, kesehatan mental sesungguhnya dipengaruhi oleh banyak lapisan: faktor biologis, pengalaman psikologis, lingkungan sosial, kebiasaan harian, dan makna hidup yang dijalani.
Upaya membangun pikiran yang realistis dan lentur, kebiasaan hidup yang sehat, dukungan lingkungan sosial, serta tujuan hidup yang manusiawi menjadi fondasi penting yang memperkuat daya lenting seseorang dalam menghadapi tantangan.
Nilai-nilai inilah yang sering kali membantu menurunkan risiko gangguan mental di tengah kehidupan yang bergerak semakin cepat.
Dalam dinamika modern, muncul pergeseran besar dalam cara banyak individu memaknai kebahagiaan.
Pengejaran kesenangan sesaat kerap menjadi pusat orientasi hidup termasuk kenyamanan instan, validasi, pujian, keberhasilan cepat, dan stimulasi tanpa henti menjadi hal yang dianggap wajar.
Media sosial memperkuat dorongan ego untuk tampil sempurna, terlihat berhasil, dan dianggap penting. Namun, bertolak belakang dengan apa yang dicari, semakin keras kesenangan diburu, semakin jauh seseorang dari kedamaian batin.
Kesenangan hanya memicu dopamin sesaat dan tidak pernah bertahan lama. Ketika kesenangan disalahartikan sebagai kebahagiaan, muncul lingkaran tak berujung: rangsangan baru terus dikejar, tetapi rasa cukup tak pernah benar-benar hadir.
Baca juga: Solusi psikologis bagi kesehatan mental
Baca juga: Agar tak kewalahan di deras arus informasi
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































