Organisasi nirlaba soroti mahalnya biaya pengumpulan sampah plastik

2 weeks ago 14

Jakarta (ANTARA) - Organisasi nirlaba Indonesia Packaging Recovery Organization (IPRO) menyoroti mahalnya biaya pengumpulan sampah di tanah air karena kondisi geografis yang berupa negara kepulauan.

“Kita memiliki 17 ribu pulau dan beberapa pulau-pulau besar atau kecil itu ranging geographical challenge-nya luar biasa. Paling tipikal sebagai challenge di Indonesia itu adalah collection cost. Itu yang paling tipikal bottleneck-nya itu di situ,” kata General Manager IPRO, Reza Andreanto, dalam diskusi media di Jakarta, Rabu.

Hal tersebut menjadi tantangan bagi produsen untuk mengelola sampah plastiknya yang juga dikenal dengan Extended Producer Responsibility (EPR). Reza menuturkan bahwa jika mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) Nomor 75 Tahun 2019, EPR telah diwajibkan kepada produsen.

Perusahaan yang menghasilkan produk berkemasan diwajibkan untuk bertanggung jawab atas sampah produk dan kemasannya hingga tahap pasca-konsumsi, hanya saja dirinya menilai bahwa penegakan hukumnya masih sangat lemah dan bahkan nyaris tidak berjalan.

Oleh sebab itu, melalui Peraturan Presiden (Perpres) terkait pelaksanaan EPR yang dijadwalkan diterbitkan pada akhir tahun ini, IPRO berharap bahwa pemerintah juga akan mengatur agar industri turut berperan untuk membantu tingginya biaya pengumpulan sampah.

Reza menyebut agar peran industri dapat diperkuat dengan membantu biaya pengumpulan sampah tersebut dengan menyediakan insentif tertentu.

“Sehingga dari sudut pandang pemerintah, ada yang sifatnya reduction atau diasumsikan sebagai EPR dan ada yang sifatnya penanganan yang diasumsikan sebagai infrastructure development,” ucap Reza.

Hadir pada kesempatan yang sama, Direktur Urusan Publik, Komunikasi, dan Keberlanjutan The Coca Cola Company Indonesia, Trijono Prijosoesilo, yang menjelaskan bahwa sebagai produsen yang aktif mengumpulkan dan mendaur ulang sampah kemasan, perusahaannya sangat mendukung kebijakan pemerintah yang mewajibkan EPR.

Namun, mengingat kondisi geografis Indonesia, dirinya menyarankan agar kebijakan tersebut dirancang secara baik dengan memperhatikan konteks atau karakteristik lokal. Menurutnya, penerapan EPR di sejumlah negara di Eropa, tidak bisa serta merta direplikasi di Indonesia.

“Eropa kan mungkin adalah kontinental ya. Jadi infrastrukturnya besar, distribusinya gampang, logistiknya gampang. Indonesia agak berbeda. Jadi kami melihat bahwa EPR yang di-desain spesifik dengan intinya Indonesia sangat penting,” kata Trijono.

Trijono menekankan bahwa pembentukan kebijakan yang tepat sasaran juga akan mendukung pertumbuhan ekonomi, termasuk target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen pada 2029 yang telah ditetapkan oleh Presiden Prabowo Subianto.

Adapun IPRO sebagai organisasi nirlaba yang berdiri pada 2020, berfokus pada penguatan pengumpulan sampah kemasan pasca-konsumsi untuk kebutuhan daur ulang. IPRO juga berfungsi sebagai platform kolaborasi industri untuk pemenuhan EPR, serta melibatkan beragam pemangku kepentingan di Indonesia.

Baca juga: Menteri LH: Ketentuan produsen wajib kelola sampah plastik terbit 2025

Baca juga: KLH perkuat aturan EPR agar perusahaan ikut kurangi sampah plastik

Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Arie Novarina
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |