Menakar kebijakan fiskal penyelamat alam

13 hours ago 5
Paradigma baru menempatkan alam bukan sebagai objek eksploitasi, tetapi sebagai aset ekonomi yang harus dijaga keberlanjutannya

Jakarta (ANTARA) - Wacana mengenai instrumen fiskal hijau semakin kuat seiring tingginya tekanan terhadap ekosistem alam. Negara-negara mulai memahami bahwa kerusakan lingkungan tidak hanya menurunkan kualitas hidup, tetapi juga menciptakan beban fiskal jangka panjang.

Laporan Program Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) memperkirakan bahwa degradasi ekosistem global menyebabkan kerugian ekonomi, sedikitnya 7 triliun dolar AS per tahun, atau sekitar 8 persen PDB dunia, akibat hilangnya jasa lingkungan, seperti penyerbukan, ketahanan pangan, regulasi air, dan penyimpanan karbon alami.

Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mencatat bahwa biaya bencana yang dipicu kerusakan ekosistem meningkat hampir dua kali lipat dalam dua dekade terakhir. Sementara Bank Dunia menghitung bahwa negara-negara berkembang kehilangan potensi pertumbuhan fiskal sebesar 0,7–1,5 persen PDB per tahun akibat deforestasi dan degradasi tanah.

Bahkan, The Dasgupta Review menyimpulkan bahwa nilai ekonomis jasa ekosistem yang tidak terefleksi dalam harga pasar bernilai lebih besar daripada seluruh PDB global. Jika itu diakumulasi dalam jangka panjang, menciptakan risiko fiskal sistemik yang selama ini tidak tercatat dalam anggaran negara.

Indonesia memiliki kekayaan hayati yang menempatkan negeri ini di jajaran teratas dunia. Hanya saja, tekanan terhadap hutan, gambut, karst, mangrove, pesisir, dan air tawar terus meningkat.

Laju deforestasi, fragmentasi habitat, penurunan populasi spesies kunci, dan degradasi bentang alam adalah bukti bahwa biaya ekologis masih dianggap eksternalitas yang bebas ditanggung negara.

Ketika konversi lahan, perluasan tambang, dan ekspansi perkebunan tidak mengenakan biaya ekologis yang memadai, negara sesungguhnya sedang menyubsidi kerusakan. Di sinilah konsep biodiversity loss tax atau pajak atas kehilangan keanekaragaman hayati mulai mendapatkan tempat dalam diskursus kebijakan publik dunia.

Pertanyaannya, sejauh mana Indonesia sebagai negara mega biodiversitas mampu merespons gagasan ini sebagai strategi fiskal masa depan?

Beberapa negara mulai menggunakan pendekatan ini. Inggris menerapkan skema Biodiversity Net Gain yang mewajibkan pembangunan meningkatkan kualitas biodiversitas sebelum memulai proyek. Australia memperkenalkan biaya restorasi bagi sektor yang beroperasi di habitat spesies endemik. Kolombia mengembangkan pajak berbasis jasa ekosistem yang dialihkan ke program konservasi.

Ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal tidak lagi hanya mengatur penerimaan negara, tetapi juga menjadi alat mengubah perilaku ekonomi menuju pembangunan yang lebih berkelanjutan.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |