Kemenkes paparkan edukasi & deteksi dini talasemia agar minim kasus

9 hours ago 5
Kalau pembawa sifat itu secara garis besar seperti halnya yang normal, tidak bergejala, atau gejalanya sangat minim sekali dan tidak memerlukan transfusi

Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengatakan nol kasus talasemia dapat dicapai melalui edukasi masyarakat tentang penyakit tersebut, guna mengurangi risiko anak terlahir dengan kondisi itu serta penguatan skrining dan deteksi dini yang konsisten, seperti dibuktikan negara-negara lain.

Ketua Tim Kerja Penyakit Kelainan Darah dan Gangguan Imunologi Kemenkes Endang Lukitosari mengatakan dalam Webinar Thalasemia Sedunia 2025 bahwa pengetahuan tentang talasemia perlu diberikan pada publik, mengingat konsekuensi talasemia tak hanya secara medis, namun juga non-medis, seperti finansial dan sosial.

Edukasi itu, kata Endang, agar masyarakat tidak takut memeriksakan diri, sehingga dapat mencegah kemungkinan penyakit itu diturunkan pada anak-anaknya.

"Talasemia ini adalah suatu bentuk kelainan darah yang diturunkan dari orang tua ke anak melalui genetik. Nah, ini menyebabkan tubuh tidak dapat membuat protein yang disebut hemoglobin, yang tentunya hemoglobin ini merupakan bagian penting dari sel darah merah," ucapnya.

Baca juga: Ahli kesehatan: Indonesia berada dalam "sabuk talasemia" dunia

Secara klinis, katanya, terdapat sejumlah tingkatan talasemia. Pada talasemia mayor, penyandangnya membutuhkan transfusi darah seumur hidup. Pada talasemia intermediate, transfusi darah dibutuhkan namun tidak rutin. Sedangkan pada talasemia minor, tidak membutuhkan transfusi darah dan tampaknya sehat-sehat saja.

Dia mencontohkan apabila kedua orang tua normal darahnya, maka anaknya tentu normal semua. Apabila satu dari orang tuanya merupakan penyandang talasemia, ada kemungkinan sebesar 50 persen anak lahir sebagai pembawa kondisi itu.

"Kalau pembawa sifat itu secara garis besar seperti halnya yang normal, tidak bergejala, atau gejalanya sangat minim sekali dan tidak memerlukan transfusi," katanya.

Jika kedua orang tuanya adalah pembawa sifat, katanya, terdapat kemungkinan sebesar 25 persen anaknya lahir dengan talasemia mayor. Kondisi itu, katanya, adalah yang dihindari, sehingga edukasi ini perlu diberikan pada calon orang tua.

Sayangnya, kata Endang, upaya untuk mengedukasi tersebut sering dianggap sebagai intervensi agar dua orang tidak menikah. Padahal tujuannya untuk menjelaskan tentang konsekuensi apabila pasangan dengan talasemia menikah dan mempunyai anak.

Baca juga: Kemenkes: Deteksi dini penting kurangi risiko bayi lahir bertalasemia

"Kemudian juga dampak secara ekonomis, dimana diperkirakan dari sejak bayi lahir sampai dengan usia 18 tahun, kurang lebih dibutuhkan Rp5 miliar untuk menatalaksana, dari transfusi dan lain sebagainya," kata Endang.

Dia melanjutkan biaya ini dapat ditekan dengan skrining, yang diperkirakan membutuhkan hanya Rp 500 juta dan dilakukan hanya sekali seumur hidup.

Secara geografis, katanya, 3 sampai 10 persen populasi Indonesia punya talasemia beta atau mayor, dan 2,6 sampai 11 persen adalah pembawa talasemia alpha. Kemudian, katanya, diperkirakan sekitar 2.500 bayi lahir dengan talasemia beta.

Oleh karena itu pemerintah berupaya menekan angka penyakit ini, kata dia, salah satunya melalui skrining 14 penyakit yang diprioritaskan, yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Pengecekan talasemia, katanya, juga sudah dimasukkan dalam Program Cek Kesehatan Gratis (CKG).

Selain kepada calon pengantin, pihaknya juga menggencarkan edukasi pada anak sekolah, karena biasanya anak sekolah rasa ingin tahunya besar, dan sebagai informasi ketika akan mencari calon pasangan pada kemudian hari.

Baca juga: NGI-RSAB Harapan Kita lakukan penelitian tes genetika talasemia

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |