Gulma liar benteng ekosistem pertanian

3 hours ago 4

Jakarta (ANTARA) - Hampir semua gulma liar di tanah air dianggap pengganggu sektor pertanian. Ia menjadi pesaing tanaman budi daya untuk menyerap nutrisi dan air dari tanah maupun cahaya matahari.

Padahal, banyak gulma justru berperan penting pada sistem ekologis yang dapat membantu sektor pertanian untuk membentengi diri dari ledakan hama dan penyakit tanaman sehingga kerugian ekonomi yang tinggi dapat dihindarkan.

Gulma dalam bahasa sederhana dapat diartikan tanaman liar. Ia dapat berupa rumput maupun semak liar.

Pengelolaan gulma yang tepat dapat membantu Indonesia mencapai swasembada pangan karena banyak gulma berperan sebagai inang (rumah) alternatif bagi hama dan penyakit tanaman.

Maksudnya, ketiadaan gulma di lahan pertanian membuat hama dan penyakit yang semestinya hidup pada gulma, malah menyerang tanaman pokok pertanian sehingga hasil panen terganggu bahkan hancur.

Salah satu contoh gulma yang dapat menjadi benteng hama dan penyakit adalah Bidens pilosa.

Petani lebih akrab memanggilnya bunga ketul. B. pilosa terbukti mampu beradaptasi tinggi pada berbagai kondisi lingkungan sehingga membuatnya sulit dikendalikan dengan cara konvensional. Pada pertanian modern, B. pilosa sering juga disebut gulma invasif.

Bidens pilosa merupakan tanaman liar tahunan dari famili Asteraceae yang tersebar luas di wilayah tropis dan subtropis.

Ia sekeluarga dengan bunga matahari yang terkenal dan bunga tithonia juga terkenal sebagai gulma bermanfaat. B. pilosa mudah dikenali dari bunganya yang kecil dengan mahkota putih dan pusat kuning, serta buah berduri yang mudah menempel pada pakaian atau bulu hewan.

B. pilosa dapat tumbuh subur di lahan terganggu seperti lahan pertanian, pekarangan, atau tepi jalan lalu mendominasi area yang didudukinya.

Bunga ketul memiliki karakteristik yang menjadikannya inang alternatif bagi berbagai organisme pengganggu tanaman dari golongan serangga maupun mikroorganisme.

Salah satu hama penting yang berasosiasi dengan B. pilosa adalah Thrips tabaci yang dikenal juga sebagai thrips bawang (onion thrips).

Hama T. tabaci merupakan hama utama tanaman hortikultura seperti bawang merah, tembakau, dan cabai.

Hama ini dapat merusak secara langsung dengan mengisap cairan sel tanaman. Ia juga dapat menjadi menjadi vektor virus penting seperti Iris yellow spot virus (IYSV) dan Tomato spotted wilt virus (TSWV).

Serangga vektor adalah organisme yang menularkan berbagai penyakit tanaman dari satu inang (yaitu tanaman) ke tanaman lainnya.

Vektor dapat menyebarkan semua jenis patogen tanaman termasuk cendawan, bakteri, fitoplasma, virus, nematoda, dan protozoa. Penelitian oleh Smith et al. (2011) dan Loredo Varela & Fail (2022) menunjukkan bahwa bunga ketul (B. pilosa) mampu mendukung kelangsungan hidup thrips di luar musim tanam tanaman utama, memperpanjang risiko serangan secara berkelanjutan dalam sistem tanam monokultur.

Peran B. pilosa juga dapat menjangkau lebih luas. Beberapa studi terbaru menunjukkan bahwa gulma ini berpotensi menjadi inang alternatif bagi nematoda patogen tanaman, terutama nematoda puru akar dari genus Meloidogyne.

Nematoda ini bersifat kosmopolit dengan inang yang luas, termasuk endoparasit menetap, dan dapat menyebabkan kerugian besar pada berbagai komoditas hortikultura (tomat, mentimun, bit, krisan, kentang), pangan (padi, jagung, kacang-kacangan) dan perkebunan (lada, tebu, kopi).

Kerusakan yang ditimbulkan antara lain pembentukan puru akar, penurunan kemampuan tanaman dalam menyerap nutrisi, serta menyebabkan tanaman tampak kerdil dan tidak produktif. Keberadaan nematoda di gulma ini memperkuat pentingnya pengawasan vegetasi liar di sekitar lahan pertanian.


Pengelolaan gulma

Dalam kajian lapangan yang dilakukan di beberapa wilayah tropis, ditemukan bahwa akar B. pilosa menunjukkan gejala infeksi nematoda puru akar, seperti adanya puru kecil pada sistem perakaran.

Hal ini menunjukkan bahwa B. pilosa tidak hanya menjadi tempat bertahan hidup bagi nematoda selama tidak adanya tanaman inang utama, tetapi juga memungkinkan siklus hidup patogen tersebut tetap berlangsung.

Ketika musim tanam dimulai kembali, nematoda yang berada di sekitar akar gulma dapat berpindah ke tanaman budi daya, meningkatkan potensi infeksi awal yang sulit dikendalikan secara preventif.

Keberadaan gulma B. pilosa di sekitar pertanaman, terutama dalam sistem tanam intensif yang minim rotasi dan pengelolaan gulma, dapat menjadi sumber inokulum awal bagi nematoda.

Hal ini menunjukkan bahwa pengendalian nematoda tidak cukup hanya dengan perlakuan kimia atau pemilihan varietas tahan, tetapi juga harus memperhatikan vegetasi non-budi daya di sekitar lahan.

Pengelolaan gulma menjadi bagian integral dari strategi pengendalian nematoda terpadu, yang mencakup aspek ekologis dan keberlanjutan jangka panjang.

Selain menjadi tempat berkembang biaknya T. tabaci dan nematoda, gulma B. pilosa juga berpotensi menjadi tempat bertahan patogen lainnya seperti cendawan tular tanah dan bakteri.

Oleh karena itu, dalam pendekatan pengendalian hama dan penyakit terpadu (PHT) penting untuk memperhitungkan peran gulma dalam sistem pertanian secara menyeluruh.

Kegagalan mengelola gulma seperti B. pilosa dapat menyebabkan ketidakefektifan strategi pengendalian lainnya, bahkan memperparah siklus infeksi dari musim ke musim dan memperbesar beban ekonomi bagi petani kecil.

Strategi pengendalian bunga B. pilosa dapat dilakukan melalui pendekatan mekanis, kimiawi, maupun preventif jangka panjang. Penyiangan rutin dan penggunaan mulsa organik dapat menekan pertumbuhan gulma di antara barisan tanaman.

Penggunaan herbisida selektif juga bisa diterapkan, namun harus sesuai dengan jenis tanaman dan lingkungan setempat.

Strategi jangka panjang seperti rotasi tanaman dengan jenis non-inang nematoda, serta penggunaan tanaman penutup yang kompetitif, bisa mempersempit ruang tumbuh bagi gulma B. pilosa, sehingga menurunkan peluang infestasi organisme pengganggu tanaman.

Pemahaman terhadap peran gulma seperti B. pilosa dalam siklus hidup hama dan penyakit sangat penting dalam membangun sistem pertanian yang sehat dan berkelanjutan.

Dengan mengetahui bahwa gulma ini dapat menjadi reservoir bagi hama T. tabaci, vektor virus, serta nematoda, maka tindakan pengelolaan bisa lebih tepat sasaran.

Petani tidak hanya mengandalkan pestisida atau nematisida, melainkan juga memperbaiki ekosistem lahan secara menyeluruh melalui pengelolaan vegetasi yang tepat dan berkelanjutan.

Terakhir, pengelolaan gulma harus menjadi bagian penting dalam strategi pengendalian hama dan penyakit terpadu, dengan pendekatan yang memperhatikan hubungan antara tanaman, gulma, organisme pengganggu, serta dinamika lingkungan sekitarnya.


*) Penulis adalah Dosen Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB.

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |