Jakarta (ANTARA) - Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyimpulkan bahwa perubahan iklim telah menjadi salah satu faktor yang mendorong peningkatan kasus migrasi paksa (forced migration) di kalangan pekerja migran Indonesia (PMI).
Menurut Ketua SBMI Hariyanto Suwarno, saat ditemui di Jakarta, fenomena tersebut merupakan salah satu temuan yang dimuat dalam Catatan Akhir Tahun 2025 SBMI yang dirilis pada Kamis.
“Temuan kami menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan menjadi penyebab migrasi paksa. Ketika sebelumnya mereka dapat hidup cukup di daerahnya, krisis iklim yang mengubah lanskap wilayah justru memaksa mereka bermigrasi,” kata Hariyanto.
Ia mengungkapkan, krisis iklim yang mengubah ruang hidup pesisir serta merusak prospek pekerjaan tradisional seperti bertani dan melaut telah memaksa warga dari setidaknya enam desa di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, mencari mata pencaharian alternatif dengan bekerja ke luar negeri.
Namun, warga yang terpaksa menjadi pekerja migran tersebut berangkat tanpa sepengetahuan pemerintah desa maupun otoritas pelindungan PMI. Kondisi ini meningkatkan risiko mereka menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan eksploitasi kerja paksa.
Untuk itu, SBMI merekomendasikan pemerintah agar memperkuat pelindungan PMI dengan secara resmi menggolongkan migrasi akibat krisis iklim sebagai migrasi paksa, serta melakukan pemetaan wilayah rawan guna mewujudkan migrasi yang aman dan mencegah TPPO.
SBMI juga mendorong para pemangku kepentingan menerapkan penanganan ekologis berbasis keadilan iklim untuk mengurangi kerentanan ekonomi yang memicu migrasi berisiko, sekaligus memperkuat intervensi komunitas guna mencegah rekrutmen ilegal dan eksploitasi pekerja migran.
Baca juga: Akademisi UPI dorong kolaborasi sebagai kunci mitigasi iklim
“Migrasi untuk memperoleh penghidupan yang layak adalah hak yang tidak boleh dipaksakan dan tidak boleh dilarang,” kata Hariyanto.
Lebih lanjut, Catatan Akhir Tahun 2025 SBMI mencatat jumlah kasus PMI yang ditangani SBMI selama periode 2010–2025 mencapai 6.573 kasus. Dari total 453 kasus yang ditangani sepanjang 2025, sebanyak 250 kasus terindikasi merupakan TPPO.
Pada 2025, aduan terbanyak yang diterima SBMI berasal dari korban yang dipaksa menjadi operator penipuan daring, yakni 135 kasus, disusul PMI sektor domestik sebanyak 61 kasus, serta awak kapal migran sebanyak 26 kasus.
SBMI juga mencatat total kerugian ekonomi buruh migran Indonesia mencapai Rp3,09 miliar akibat praktik overcharging, pungutan liar, dan pencurian upah, yang mencerminkan adanya eksploitasi lintas negara serta kelalaian sistemik.
Baca juga: Pemanasan global picu lonjakan hujan ekstrem di Sri Lanka dan Sumatra
Pewarta: Nabil Ihsan
Editor: Rahmad Nasution
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































