Jakarta (ANTARA) - Pernyataan Presiden Prabowo Subianto pada peringatan Hari Buruh Internasional baru-baru ini, yang menyoroti evaluasi sistem alih daya (outsourcing), telah memicu kembali diskursus nasional mengenai format hubungan industrial yang ideal.
Momentum ini sejatinya membuka ruang untuk tidak hanya membahas nasib outsourcing, tetapi juga untuk berani memikirkan ulang struktur ketenagakerjaan dan sistem kesejahteraan pekerja secara lebih fundamental. Di tengah pencarian solusi ini, gagasan "Wakaf Saham Sementara" hadir sebagai sebuah proposal inovatif yang berpotensi menawarkan jalan tengah yang adil dan produktif.
Konsep ini bertumpu pada semangat partisipasi pekerja dalam kepemilikan dan hasil usaha perusahaan, sebuah langkah transformatif dari paradigma upah konvensional.
Landasan hukum untuk wakaf telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yang kemudian diimplementasikan lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006.
Pasal 1 PP tersebut, misalnya, mendefinisikan wakaf sebagai perbuatan hukum wakif (pemberi wakaf) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Keberadaan regulasi ini memberikan payung hukum awal untuk mengembangkan instrumen wakaf, termasuk pada aset produktif seperti saham, yang kemudian dapat dimodifikasi dengan konsep "sementara" untuk kebutuhan spesifik hubungan industrial.
Praktik outsourcing selama ini kerap menjadi sorotan karena berbagai implikasinya terhadap pekerja. Ketidakpastian status kerja, minimnya pengembangan karier, hingga disparitas kesejahteraan seringkali menjadi keluhan utama. Upaya untuk menata ulang atau bahkan menghapus sistem ini tentu bertujuan mulia demi perlindungan tenaga kerja.
Namun, jika solusi hanya berhenti pada pengalihan status tanpa menyentuh esensi hubungan kerja dan sistem kompensasi, maka akar persoalan belum sepenuhnya tercerabut.
Sistem pengupahan tradisional, meskipun menjadi standar umum, acapkali menempatkan pekerja dalam posisi pasif sebagai penerima gaji tetap, terlepas dari fluktuasi profitabilitas perusahaan yang mungkin jauh melampaui nilai upah yang mereka terima. Hal ini berpotensi membatasi rasa kepemilikan dan motivasi untuk memberikan kontribusi optimal.
Oleh karena itu, diperlukan sebuah paradigma yang lebih holistik, yang tidak hanya memperbaiki status, tetapi juga mereformasi cara pandang terhadap kontribusi pekerja dan pembagian hasil usaha.
Baca juga: BEI sebut total aset wakaf saham baru capai Rp280 juta
Inovasi keadilan dan produktivitas
Wakaf Saham Sementara adalah sebuah skema di mana perusahaan (sebagai wakif) mengalokasikan sebagian sahamnya untuk diwakafkan secara temporer. Hasil dari pengelolaan saham wakaf ini kemudian didistribusikan kepada para pekerja sebagai penerima manfaat (mauquf 'alaih), yang bisa disalurkan melalui wadah terorganisir seperti koperasi karyawan atau serikat pekerja di perusahaan tersebut.
Detail implementasinya dapat dirancang sebagai berikut.
Pertama, alokasi saham signifikan. Perusahaan dapat mewakafkan misalnya sekitar 30 persen sahamnya secara sementara. Angka ini cukup signifikan untuk memberikan dampak kesejahteraan yang terasa bagi pekerja dan menumbuhkan motivasi yang kuat, namun tetap memastikan dominasi kepemilikan dan kontrol manajemen strategis berada di tangan pemilik perusahaan awal.
Porsi 30 persen bukanlah angka yang memberikan hak suara mayoritas dalam pengambilan keputusan korporat.
Kedua, jangka waktu evaluatif. Periode wakaf saham ini bersifat sementara, misalnya untuk jangka waktu 3 atau 5 tahun. Durasi yang relatif pendek ini memungkinkan perusahaan dan perwakilan pekerja untuk melakukan evaluasi berkala terhadap efektivitas skema, kinerja nazhir (pengelola wakaf), dan dampaknya terhadap produktivitas serta kesejahteraan.
Setelah periode berakhir, skema ini dapat diperpanjang, dimodifikasi, atau dihentikan berdasarkan kesepakatan.
Ketiga, manfaat kolektif dan terukur. Dividen atau keuntungan lain yang berasal dari 30 persen saham wakaf tersebut akan didistribusikan kepada seluruh karyawan yang terdaftar sebagai anggota koperasi atau serikat pekerja. Mekanisme pembagiannya bisa diatur secara proporsional berdasarkan masa kerja, tingkatan, atau kriteria lain yang disepakati bersama, sehingga menciptakan rasa keadilan.
Keempat, peran nazhir yang profesional dan amanah. Pengelolaan saham wakaf ini harus dilakukan oleh nazhir yang memenuhi kriteria ketat: kompeten dalam manajemen investasi dan bisnis, memiliki integritas tinggi, bertindak profesional, serta memahami dengan baik prinsip-prinsip muamalah dalam transaksi bisnis.
Nazhir bisa berasal dari profesional eksternal yang independen atau unit khusus yang dibentuk dengan perwakilan dari perusahaan dan pekerja, yang diawasi secara transparan.
Kelima, insentif kinerja terintegrasi. Dengan adanya pembagian hasil dari saham wakaf, pekerja secara langsung merasakan dampak positif dari kinerja dan profitabilitas perusahaan. Ini akan menumbuhkan sense of ownership dan mendorong peningkatan produktivitas, efisiensi, serta inovasi di semua lini.
Wakaf Saham Sementara ini memiliki beberapa keunggulan multifaset. Bagi pekerja, skema ini membuka akses terhadap bagi hasil keuntungan perusahaan secara signifikan, meningkatkan kesejahteraan di atas upah standar, menumbuhkan rasa memiliki dan dihargai, serta memperkuat posisi tawar kolektif melalui koperasi atau serikat pekerja.
Baca juga: Mengenal wakaf saham, peluang beramal melalui pasar modal syariah
Sementara bagi perusahaan, wakaf saham sementara akan menciptakan iklim kerja yang lebih harmonis dan kolaboratif, meningkatkan loyalitas dan motivasi kerja karyawan, yang berujung pada peningkatan produktivitas dan daya saing. Citra perusahaan sebagai entitas yang inovatif dan bertanggung jawab sosial akan semakin kuat. Fleksibilitas jangka waktu dan evaluasi berkala memberikan kenyamanan bagi pengusaha.
Bagi perekonomian nasional, skema ini mendorong distribusi pendapatan yang lebih merata, mengurangi potensi gesekan industrial, dan memperkenalkan model bisnis yang lebih partisipatif dan berkeadilan, sejalan dengan nilai-nilai luhur bangsa.
Menavigasi implementasi
Implementasi Wakaf Saham Sementara memerlukan dukungan regulasi yang kondusif dari pemerintah, khususnya terkait aspek hukum korporasi, perpajakan, dan pasar modal, yang selaras dan mengembangkan lebih lanjut kerangka hukum wakaf yang sudah ada. Pedoman yang jelas mengenai tata kelola nazhir, valuasi saham, dan mekanisme distribusi manfaat menjadi sangat penting.
Sosialisasi yang komprehensif kepada dunia usaha dan organisasi pekerja juga menjadi kunci agar konsep ini dipahami secara benar dan diterima dengan baik. Pelibatan aktif akademisi dan praktisi hukum serta ekonomi syariah dapat membantu merumuskan model implementasi terbaik, termasuk bagaimana aspek "sementara" ini dapat diintegrasikan secara optimal dalam kerangka hukum wakaf yang lebih luas yang juga mengakomodasi wakaf manfaat untuk jangka waktu tertentu.
Pernyataan Presiden Prabowo terkait evaluasi outsourcing memberikan momentum krusial untuk melakukan lompatan kualitatif dalam sistem ketenagakerjaan Indonesia. Wakaf Saham Sementara hadir sebagai alternatif cerdas yang mengintegrasikan prinsip keadilan sosial dengan logika ekonomi produktif, dengan landasan hukum wakaf yang sudah ada sebagai titik pijak.
Skema ini memberdayakan pekerja sebagai mitra, bukan lagi objek, dan memberikan insentif nyata atas kontribusi mereka. Bagi pengusaha, ini adalah investasi strategis dalam sumber daya manusia yang akan melahirkan loyalitas dan kinerja unggul.
Dengan komitmen bersama dan pengembangan kerangka regulasi yang tepat, Wakaf Saham Sementara berpotensi menjadi salah satu pilar penting dalam membangun lanskap ketenagakerjaan Indonesia yang lebih sejahtera, adil, dan harmonis di masa depan.
Baca juga: Pengamat nilai saham hingga deposito pantas menjadi aset wakaf
*) Baratadewa Sakti P adalah Praktisi Keuangan Keluarga & Pendamping Keuangan Bisnis UMKM
Copyright © ANTARA 2025