Jakarta (ANTARA) - Pusat Pengembangan Kebijakan Ekonomi (PPKE) Universitas Brawijaya (UB) mendorong pemerintah segera mengambil keputusan agar mata rantai peredaran rokok ilegal dapat diputus dengan pendekatan kebijakan yang lebih terukur, komprehensif, dan berbasis data ilmiah.
Direktur Pusat PPKE FEB UB Prof. Candra Fajri Ananda menyatakan pihaknya juga menekankan urgensi penyusunan peta jalan industri hasil tembakau (IHT) yang komprehensif, realistis, dan multidimensi, yang mencakup aspek fiskal, ekonomi, sosial, kesehatan, hingga perlindungan tenaga kerja, dengan tujuan menjaga keberlangsungan industri kretek nasional.
"Keberhasilan dalam menyeimbangkan antara pengendalian konsumsi tembakau, pemberantasan rokok ilegal, dan keberlanjutan IHT akan menjadi fondasi penting dalam menjaga kedaulatan ekonomi, keadilan fiskal, dan kesejahteraan masyarakat Indonesia," ujar dia dalam keterangannya di Jakarta, Senin.
Hal itu dikatakannya menanggapi perhatian luas yang diterima di Twitter (X) terhadap hasil penelitian PPKE belum lama ini. Kajian tersebut menyoroti fenomena meningkatnya peredaran rokok ilegal di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir yang dipicu oleh adanya ketidakseimbangan regulasi antara rokok legal dan rokok ilegal di sektor Industri Hasil Tembakau (IHT).
Sentimen positif dalam diskusi daring mencapai 73,87 persen yang menunjukkan bahwa masyarakat luas mendukung upaya untuk menghentikan peredaran rokok ilegal dan mendorong pemerintah segera merumuskan peta jalan kebijakan IHT yang lebih komprehensif dan seimbang.
"Tingginya dukungan publik menunjukkan bahwa masyarakat memandang isu ini sebagai masalah nasional yang memerlukan tindakan cepat dan solusi kebijakan berbasis riset akademik, bukan sekadar wacana political statement," ujar Candra Fajri.
Dikatakannya, kajian PPKE mengungkap bahwa kebijakan kenaikan tarif cukai yang dilakukan secara agresif dalam beberapa tahun terakhir tidak disertai dengan penguatan pengawasan distribusi di lapangan, sehingga memicu fenomena downtrading.
Data perilaku konsumsi masyarakat menunjukkan bahwa 55,3 persen perokok ilegal memilih produk dengan harga di bawah Rp1.000 per batang, serta warung kecil menjadi pusat distribusi rokok ilegal sebesar 86 persen, sehingga memperkuat argumentasi bahwa pasar ilegal semakin menguasai segmen konsumen yang sensitif terhadap harga.
"Alih-alih menurunkan prevalensi merokok seperti yang menjadi tujuan utama cukai, kebijakan tersebut justru menciptakan insentif ekonomi yang kuat bagi masyarakat berpendapatan rendah untuk beralih ke rokok ilegal, bukan berhenti merokok," katanya.
Oleh karena itu Prof Candra berharap bahwa kajian tersebut dapat menjadi landasan objektif bagi para pemangku kebijakan dalam merumuskan arah kebijakan publik yang lebih bijaksana dan efektif.
"Dukungan publik yang lahir dari diskusi ilmiah ini diharapkan mampu mengubah kesadaran sosial menjadi dorongan politik yang kuat untuk menempatkan penanganan rokok ilegal sebagai prioritas nasional," katanya.
Baca juga: Komisi XI DPR dukung Menkeu Purbaya perkuat KIHT atasi rokok ilegal
Baca juga: Menkeu Purbaya siapkan tarif cukai khusus untuk rokok ilegal domestik
Baca juga: Bea Cukai tindak 2,4 juta batang rokok ilegaldi Bali
Pewarta: Subagyo
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































