Polri rumuskan ulang model pelayanan unjuk rasa jadi lebih humanis

2 weeks ago 13
Penyampaian pendapat di muka publik adalah hak konstitusional. Oleh karena itu, pelayanan terhadap pengunjuk rasa harus kami rumuskan ulang agar lebih adaptif, humanis, dan tetap menjaga keamanan. Semua harus berbasis kajian, riset, dan masukan masya

Jakarta (ANTARA) - Polri sedang merumuskan ulang model serta standar pelayanan unjuk rasa agar menjadi lebih humanis, profesional, dan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Wakapolri Komjen Pol. Dedi Prasetyo dalam keterangan dikonfirmasi di Jakarta, Rabu, mengatakan bahwa perumusan ulang ini dilaksanakan secara bertahap serta berbasis kajian multidisipliner, masukan publik, serta studi komparatif ke luar negeri.

Selain itu, pendekatan yang disusun berlandaskan visi hukum dan prinsip penghormatan terhadap hak warga negara.

“Penyampaian pendapat di muka publik adalah hak konstitusional. Oleh karena itu, pelayanan terhadap pengunjuk rasa harus kami rumuskan ulang agar lebih adaptif, humanis, dan tetap menjaga keamanan. Semua harus berbasis kajian, riset, dan masukan masyarakat,” katanya.

Dedi mengungkapkan bahwa pada Januari 2026 mendatang, tim akan ke Inggris untuk mempelajari Code of Conduct terkait pengendalian massa. Model tersebut terdiri dari lima tahap, mulai dari analisis awal hingga konsolidasi, dan dilengkapi dengan aturan “do and don’t” bagi setiap jenjang petugas.

“Studi komparatif di Inggris sangat penting untuk melihat bagaimana best practice diterapkan. Kita ingin memastikan setiap tindakan di lapangan sesuai standar internasional dan tetap menghormati hak masyarakat,” ucapnya.

Ia juga menegaskan bahwa Polri tidak ingin tergesa-gesa dalam menetapkan regulasi baru yang akan diterapkan secara nasional.

“Semua masukan dari masyarakat sipil, akademisi, serta hasil studi komparatif akan kami rangkum terlebih dahulu. Ini komitmen kami untuk menghasilkan regulasi yang benar-benar tepat,” ujarnya.

Di sisi lain, Dedi yang merupakan jenderal polisi bintang itu tiga itu juga menyebut bahwa perubahan pada internal Polri terkait pengamanan unjuk rasa juga terus berlangsung.

Jika sebelumnya sistem pengendalian unjuk rasa mengenal 38 tahap, kini disederhanakan menjadi lima fase yang lebih terukur, diterapkan bersama enam tahapan penggunaan kekuatan sesuai Perkap Nomor 1 Tahun 2009 dan standar HAM sebagaimana diatur dalam Perkap Nomor 8 Tahun 2009.

Ia menekankan pentingnya mekanisme evaluasi berjenjang pada setiap tindakan kepolisian.

“Setiap komandan wajib melaporkan progres, analisis tindakan, dampaknya, hingga evaluasi akhir. Ini menjadi pegangan agar kita bisa memperbaiki diri. Organisasi tidak akan berubah jika manusianya tidak berubah,” katanya.

Semua langkah ini, kata dia, untuk memastikan bahwa pelayanan publik, khususnya pengamanan unjuk rasa, benar-benar responsif, adaptif, dan berdampak langsung bagi masyarakat.

“Inilah semangat transformasi yang diamanatkan Bapak Kapolri,” ucapnya.

Baca juga: Pemerintah kaji pembentukan lembaga pengawas Polri yang independen

Baca juga: Komisi Reformasi Polri terima audiensi aktivis lingkungan dan jurnalis

Baca juga: Polri pelajari model penanganan aksi massa dari Kepolisian Hong Kong

Pewarta: Nadia Putri Rahmani
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |