Mengenal SVT, gangguan irama jantung yang bisa dialami usia muda

3 hours ago 3

Jakarta (ANTARA) - Supraventricular Tachycardia (SVT) merupakan gangguan irama jantung yang ditandai dengan detak terlalu cepat yang bisa dialami kalangan lanjut usia bahkan kalangan muda dengan dampak yang mengancam jiwa.

Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah subspesialis aritmia dari RS Siloam TB Simatupang, dr. Dony Yugo Hermanto, Sp.JP (K), FIHA, menjelaskan bahwa SVT jika dibiarkan dapat mengakibatkan gagal jantung, stroke, hingga kematian.

"Secara umum, aritmia terbagi menjadi tiga jenis, yaitu: irama jantung yang lebih cepat dari normal (tachycardia), lebih lambat dari normal (bradycardia), dan irama yang tidak beraturan (flutter)," kata dr Dony dalam keterangan tertulis pada Senin.

dr Dony memaparkan, cara mengukur detak jantung dapat dilakukan dengan meletakkan jari di nadi pergelangan tangan. Hitung denyut selama 15 detik, lalu kalikan hasilnya dengan empat untuk memperoleh jumlah denyut jantung dalam satu menit.

Adapun kisaran detak jantung normal ketika tubuh beristirahat yakni, 100-160 bpm (beats per minute) untuk bayi baru lahir, 90-150 bpm (bayi 0-5 bulan), 80-140 bpm (bayi 6-12 bulan), 80-130 bpm (anak 1-3 tahun), 80-120 bpm (anak 3-4 tahun), 70-110 bpm (anak 6-10 tahun), 60-100 bpm (remaja ≥15 tahun), 95-170 bpm (20-35 tahun), 85-155 bpm (35-50 tahun) dan 80-130 bpm (≥60 tahun).

Penyebab SVT

Baca juga: Berjalan kaki dengan kecepatan rata-rata bisa turunkan risiko aritmia

dr Dony menjelaskan, SVT ditandai dengan detak jantung yang sangat cepat, lebih dari 150 denyut per menit yang bisa membuat penderita merasakan jantung berdebar kencang.

"Meskipun jantung berdebar saat berolahraga atau melakukan aktivitas fisik adalah hal yang normal, detak jantung yang cepat secara tiba-tiba saat sedang beristirahat atau duduk tenang harus diwaspadai," kata dia.

SVT dapat dipicu oleh berbagai faktor, salah satunya adalah proses degeneratif akibat penuaan yang menyebabkan perubahan struktur jantung.

dr Dony menjelaskan, beberapa pasien SVT hanya merasakan ketidaknyamanan di dada, tanpa menyadari bahwa detak jantung meningkat drastis, bahkan saat tubuh sedang beristirahat.

Gangguan irama ini sering kali berlangsung singkat, lanjut dr Dony, antara 2 hingga 3 jam dan menghilang secara spontan. Selama insiden berlangsung, pasien mungkin ingin muntah atau batuk.

Jika SVT tidak segera ditangani, ada tiga potensi komplikasi serius yang dapat terjadi. Pertama, denyut jantung bisa meningkat secara ekstrem hingga menyebabkan pingsan.

Baca juga: Deg-degan ketika istirahat hingga nyeri dada termasuk gejala aritmia

Kedua, pada kasus kelainan irama jantung bawaan tertentu, denyut jantung dapat melonjak hingga 300 bpm yang sangat berbahaya karena memicu kematian mendadak.

Ketiga, gangguan irama dalam jangka panjang dapat menimbulkan risiko gangguan irama lain yang lebih kompleks, yaitu atrial fibrillation (AF) dengan risiko gagal jantung dan stroke.

Untuk mencegah komplikasi, SVT dapat ditangani melalui prosedur medis yang disebut ablasi, yang bertujuan mengatasi jalur listrik abnormal di jantung secara permanen.

Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah subspesialis aritmia dari RS Siloam TB Simatupang, dr. Dony Yugo Hermanto, Sp.JP (K), FIHA. (ANTARA/HO-Siloam Hospitals Group)

Prosedur ablasi

SVT terjadi akibat adanya generator atau jalur listrik tambahan di jantung yang memicu gangguan irama. Untuk mengatasi hal ini, dokter dapat melakukan prosedur ablasi, yaitu dengan mencari dan menonaktifkan jaringan listrik berlebih tersebut.

Proses itu dilakukan dengan pemanasan menggunakan energi frekuensi radio (radio-frequency/RF) untuk menghentikan aktivitas listrik abnormal di area yang bermasalah.

dr Dony menjelaskan, prosedur ablasi memiliki tingkat efektivitas yang tinggi dalam mengatasi SVT, yakni sekitar 90-95 persen.

"Pasien yang dapat menjalani prosedur ablasi bervariasi, mulai dari anak-anak hingga lansia. Di RS Siloam TB Simatupang, prosedur ablasi bisa dilakukan pada anak berusia 5 tahun hingga pasien berusia lebih dari 70 tahun,” jelas dr Dony.

Ablasi bukanlah operasi dengan pembelahan dada (torakotomi) melainkan menggunakan kateter yang dimasukkan melalui pangkal paha.

Baca juga: RS UNS ablasi jantung 3D pertama di Solo Raya

Kateter akan melewati pembuluh darah besar menuju jantung. Dalam prosedur ini, dokter akan menghancurkan bagian kecil jaringan jantung yang menjadi sumber gangguan listrik.

Salah satu risiko yang mungkin terjadi adalah jika lokasi jaringan yang perlu dihancurkan berada terlalu dekat dengan jalur utama sistem listrik jantung.

Bila jalur utama ini terkena panas saat proses ablasi, fungsi penghantar listrik jantung bisa terganggu. Jika hal itu terjadi, dokter mungkin perlu memasang alat pacu jantung di bawah kulit untuk membantu mengatur detak jantung secara normal.

Selain itu, area pangkal paha yang dimasukkan kateter berisiko mengalami bengkak usai ablasi.

“Prosedur ablasi menggunakan teknologi pemetaan jantung dua dimensi (2D) dan tiga dimensi (3D). Meskipun sebagian besar prosedur menggunakan pemetaan 2D, pemetaan 3D menawarkan detail yang lebih mendalam, sehingga memungkinkan tindakan yang lebih akurat," kata dr Dony.

"Teknologi 3D ini umumnya digunakan untuk kasus-kasus yang lebih kompleks. Saat ini, RS Siloam TB Simatupang telah dilengkapi dengan peralatan terbaru tiga dimensi untuk melaksanakan prosedur ablasi tersebut,” tutup dr Dony.

Baca juga: Mengenal PFA, penanganan fibrilasi atrium yang efektif dan efisien

Baca juga: Memahami aritmia jantung dengan diagnosis, pencegahan, dan perawatan

Baca juga: Masalah irama jantung lebih banyak diderita perempuan

Pewarta: Alviansyah Pasaribu
Editor: Mahmudah
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |