Jakarta (ANTARA) - Menteri Agama Nasaruddin Umar mengatakan fondasi konseptual Direktorat Jenderal Pesantren harus dibangun melalui kajian ontologis tiga arus besar pendidikan yakni sekuler, pendidikan Islam, dan pendidikan pesantren.
"Road map pesantren dan pendidikan Islam harus jelas. Jangan sampai jalannya sama, tetapi memakai nama berbeda," ujar Menag dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.
Pernyataan itu disampaikan Menag saat menjadi pembicara kunci saat Halaqah Penguatan Kelembagaan Ditjen Pesantren di Kampus II UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Menag menyebut Ditjen Pesantren sebagai “cek kosong” yang memerlukan pengisian matang agar tidak melahirkan kebijakan prematur.
Ia berharap forum halaqah ini melahirkan gagasan yang solid untuk menentukan arah masa depan pesantren, sekaligus mengintegrasikan keragaman pandangan yang saat ini berkembang dalam dunia pendidikan.
Baca juga: Ditjen Pesantren upaya negara perkuat tata kelola pendidikan Pesantren
Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung Rosihon Anwar menambahkan kampus akan terus menguatkan ekosistem pesantren melalui berbagai program, termasuk Ma’had Al-Jamiah.
Ia berharap halaqah menjadi ruang konsolidasi nasional untuk menenun masa depan pesantren sekaligus menjaga ketahanan tradisi keilmuan di tengah dinamika zaman.
Sekretaris Ditjen Pendidikan Islam Arskal Salim mengatakan halaqah ini menjadi ruang terbuka bagi para kyai, ajengan, pengelola pesantren, alumni pesantren, akademisi, dan pemerintah untuk menyampaikan pandangan dan masukan berharga.
“Halaqah ini memberikan ruang bagi kita semua untuk memberikan masukan-masukan yang berharga bagi kemajuan pesantren. Sehingga menghadirkan gagasan yang lebih konkret dan inovatif tentang bagaimana membentuk arah penguatan pesantren,” ujarnya
Halaqah menghadirkan tokoh-tokoh nasional, salah satunya mantan Ketua PBNU Said Aqil Siradj yang menegaskan bahwa penguatan pesantren tidak boleh hanya berhenti pada aspek administratif, tetapi harus berdiri di atas bangunan epistemologi yang kokoh.
Menurutnya, pemahaman agama perlu berlandaskan tiga pendekatan klasik yang telah menjadi tradisi besar dalam keilmuan Islam yaitu Bayan (pendekatan tekstual berbasis wahyu dan hadis), Burhan (pendekatan rasional yang menguatkan teks melalui logika dan penalaran), dan Irfan (pendekatan spiritual yang memberikan kedalaman makna melalui pengalaman batin).
“Tiga epistemologi ini tidak boleh berjalan sendiri. Teks tanpa nalar tidak cukup, dan nalar tanpa kedalaman spiritual juga tidak memadai,” ujar Said Aqil.
Baca juga: Anggota DPR tekankan pentingnya pesantren masuk RUU Sisdiknas
Baca juga: Wamenag dorong pesantren lahirkan generasi berwawasan luas dan adaptif
Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































