Jakarta (ANTARA) - Upaya memacu nilai tambah (value added) dari hilirisasi nikel didorong melalui pembangunan fasilitas High Pressure Acid Leaching (HPAL).
Teknologi ini menjadi salah satu metode pengolahan nikel yang strategis di tengah meningkatnya kebutuhan bahan baku untuk baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
HPAL dapat memanfaatkan bijih nikel (nickel ore) berkadar rendah atau limonit yang dinilai kurang ekonomis jika diolah menggunakan teknologi tradisional.
Kebanyakan fasilitas pengolahan bijih nikel masih mengolah nikel berkadar tinggi atau saprolit dengan menggunakan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF).
Menurut US Geological Survey, Indonesia memiliki cadangan nikel sekitar 55 juta ton, atau sekitar 42 persen dari cadangan global, menjadikannya yang terbesar di dunia dan yang paling strategis untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menargetkan Indonesia bisa memproduksi 13 juta kendaraan listrik dalam beberapa tahun ke depan. Untuk mewujudkan target itu, membutuhkan 59 ribu ton nikel limonit yang hanya bisa diproses lewat teknologi HPAL.
Berdasarkan perhitungan, per kilowatt hour (Kwh) baterai mobil listrik membutuhkan bahan baku nikel limonit 0,7 kilogram, mangan 0,096 kilogram, dan kobalt 0,096 kilogram.
Bahan baku ini 93 persen bisa dipenuhi di Tanah Air dan 7 persen sisanya, yaitu lithium perlu diimpor.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin, Setia Diarta, menyoroti pentingnya penguatan rantai pasok industri nikel di Indonesia.
Pihaknya ingin memastikan bahwa hilirisasi nikel tidak hanya berhenti pada produksi bahan baku, tetapi juga mencakup pengembangan teknologi daur ulang baterai.
Dengan begitu, industri kendaraan listrik nasional bisa lebih mandiri dan kompetitif di pasar global.
Baca juga: Mitigasi ancaman krisis di hulu saat hilirisasi nikel
Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































