Kisah di Balik Kopi: Perjuangan Afrika melawan kolonialisme (Bagian 3)

1 day ago 14

Nairobi (ANTARA) - Pada tahun-tahun awal setelah kemerdekaan, pemerintah Kenya melanjutkan model ekonomi kolonial dengan mengalokasikan lahan yang luas untuk budi daya tanaman komersial seperti kopi dan teh.

Fokus pada pertanian berorientasi ekspor ini memang mendatangkan pendapatan dari luar negeri, tetapi mengabaikan produksi pangan, yang menyebabkan berkurangnya pasokan pangan dalam negeri.

Sementara para pedagang dan pengekspor meraup untung, banyak petani tetap hidup dalam kemiskinan. Di pedesaan Kenya, aksi protes sering terjadi sehubungan dengan rendahnya harga yang ditawarkan untuk kopi, mencerminkan ketidakpuasan luas di kalangan petani yang skala usahanya tergolong kecil.

Di pusat kota Nairobi, sebuah gedung tinggi berwarna putih dan hijau yang menjadi kantor Bursa Kopi Nairobi (Nairobi Coffee Exchange/NCE) masih berdiri. Didirikan pada 1935, lembaga dari era kolonial ini masih mendominasi ekspor kopi Kenya.

"Kami masih sangat bergantung pada pasar internasional, mengekspor sebagian besar biji kopi dalam bentuk setengah jadi. Akibatnya, sebagian besar keuntungan diserap oleh pihak perantara dan negara maju, sementara petani kami hanya menerima sebagian kecil dari nilai retail akhir," ujar direktur eksekutif China-Africa Center di Institut Kebijakan Afrika Kenya Dennis Munene Mwaniki.

Sebagian besar kopi Kenya diekspor dalam bentuk setengah jadi melalui NCE, sebuah sistem yang dibentuk pada masa kolonial. Struktur ini membatasi kendali dan pengaruh Kenya atas rantai nilai kopi, Mwaniki menjelaskan lebih lanjut.

"Pendekatan ini menjadi salah satu penyebab utama di balik tantangan yang dihadapi industri kopi Kenya saat ini," kata dia.

Penentuan harga di NCE sebagian besar ditentukan oleh segelintir pembeli internasional dan perantara lokal sehingga petani kopi lokal tidak memiliki banyak pilihan selain menerima harga yang ditawarkan.

Model bisnis industri kopi didasarkan pada salah satu bentuk neokolonialisme, yang didominasi oleh segelintir pedagang kopi transnasional yang meraup keuntungan besar, menurut sebuah deskripsi di situs web The Conversation dari Australia.

"Lebih dari 80 persen kopi di dunia berasal dari 25 juta petani skala kecil, dan 60 persennya diproduksi oleh petani yang memiliki lahan kurang dari 5 hektare. Banyak dari mereka kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan layak," menurut deskripsi tersebut.

Petani kopi Kenya menjadi contoh nyata kesenjangan tersebut. Sementara secangkir kopi di kafe-kafe bergaya Eropa dibanderol dengan harga sekitar 4 dolar AS (1 dolar AS = Rp16.207), banyak buruh kopi di Kenya hanya memperoleh penghasilan maksimal 2,3 dolar AS per hari.

Di Ethiopia, meskipun kopi Ethiopia begitu terkenal di dunia dan dijual dengan harga ritell tinggi, hanya sekitar 5 hingga 10 persen dari harga ritel akhir yang masuk ke Ethiopia.

Sebagian besar keuntungan diserap oleh distributor dan broker internasional. Akibatnya, banyak petani kopi Ethiopia hanya memperoleh pendapatan sekitar 500 dolar AS per tahun, meskipun mereka bekerja sepanjang tahun, menurut data dari Bank Dunia.

Sementara itu, industri kopi di Uganda tidak jauh berbeda dengan negara-negara Afrika lainnya. Negara itu masih bergulat dengan warisan struktur ekonomi kolonial yang masih bertahan.

Ketua institusi Inspire Africa Group Nelson Tugume menyatakan bahwa ketimpangan besar tidak hanya melemahkan semangat petani kopi, tetapi, juga menghambat pembangunan berkelanjutan sektor kopi di Afrika. Dia menyerukan alokasi yang lebih adil dan wajar atas kekayaan besar yang dihasilkan oleh perdagangan kopi global, menegaskan bahwa petani kopi Afrika layak menerima bagian keuntungan yang lebih adil.

Seruan agar Afrika tidak lagi hanya menjadi pemasok bahan mentah dalam industri kopi global semakin menguat di negara-negara penghasil kopi seperti Kenya, Ethiopia, dan Uganda.

Salah satu strategi Kenya untuk mencapai tujuan itu adalah dengan membentuk koperasi petani kopi skala kecil.

Menurut Asosiasi Kopi Unggulan Afrika (African Fine Coffees Association), sektor kopi Kenya memiliki sekitar 800.000 petani skala kecil yang tergabung dalam sekitar 500 koperasi. Melalui strategi itu, para petani skala kecil dapat menyatukan sumber daya, berbagi pengetahuan, serta meningkatkan mutu dan konsistensi kopi mereka.

Pendekatan kolektif ini tidak hanya memberdayakan petani secara ekonomi, tetapi juga berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan industri kopi di Kenya, ujar wakil ketua asosiasi tersebut Karuga Macharia,

Dia menjelaskan bahwa karena keterbatasan ketersediaan lahan yang cocok untuk budi daya kopi, industri kopi Kenya kini fokus pada peningkatan hasil per pohon guna meningkatkan produksi secara keseluruhan tanpa memperluas lahan tanam.

(Bersambung ke Bagian 4)

Pewarta: Xinhua
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |