Hutan yang menyusut, bencana mendekat

13 hours ago 6

Mataram (ANTARA) - Hujan turun deras di perbukitan Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Air berwarna cokelat mengalir cepat dari lereng-lereng yang nyaris tanpa pepohonan. Di hilir, sungai meluap, sawah terendam, rumah warga terancam.

Pola ini berulang hampir setiap musim hujan. Di balik banjir dan longsor yang datang silih berganti, ada cerita panjang tentang hutan yang terus menyusut.

Pembalakan liar bukan isu baru di NTB. Namun dalam beberapa tahun terakhir, tekanannya kian terasa di wilayah Sumbawa, Bima, dan Dompu.

Bukit-bukit yang dulu hijau, kini berubah menjadi lahan terbuka. Kayu ditebang tanpa izin, kawasan hutan dirambah, batas lindung dan produksi makin kabur.

Fenomena ini tidak berdiri sendiri, melainkan terhubung dengan persoalan ekonomi, lemahnya pengawasan, dan kebijakan yang tidak selalu berpihak pada daya dukung lingkungan.

Desakan terbuka dari kepala daerah di Pulau Sumbawa kepada pemerintah provinsi menandai titik kritis persoalan ini.

Surat resmi Bupati Bima kepada Gubernur NTB tentang kondisi hutan yang kian gundul menjadi sinyal bahwa kerusakan telah melewati ambang kewajaran.

Permintaan ketegasan itu bukan sekadar administrasi pemerintahan, melainkan cerminan kegelisahan daerah yang berada di garis depan dampak ekologis.

Pembalakan liar dan perambahan hutan di NTB tidak lagi bersifat sporadis. Data penindakan menunjukkan ratusan balok kayu dengan puluhan meter kubik volume diamankan hanya dalam satu rangkaian operasi.

Rekaman video aktivitas penebangan di dalam kawasan hutan memperlihatkan bahwa praktik ini berlangsung sistematis, memanfaatkan lemahnya pengawasan dan terbatasnya sumber daya aparat kehutanan.

Ketika hutan kehilangan penjaga, ia menjadi ladang empuk bagi kepentingan jangka pendek.


Pembiaran

Masalah pembalakan liar di Sumbawa, Bima, dan Dompu tidak bisa dilepaskan dari dorongan ekonomi.

Ekspansi lahan jagung, perambahan untuk pertanian, dan tingginya nilai jual kayu menciptakan insentif kuat untuk membuka hutan.

Di wilayah dengan pilihan mata pencaharian terbatas, hutan kerap dipandang sebagai cadangan ekonomi terakhir.

Namun persoalan menjadi rumit ketika pembiaran terjadi dalam waktu lama. Pengawasan yang lemah, keterbatasan anggaran patroli, serta tumpang tindih kewenangan membuat praktik ilegal sulit diberantas secara konsisten.

Kewenangan pengelolaan hutan berada di tingkat provinsi, sementara dampak langsung dirasakan kabupaten dan kota. Celah koordinasi inilah yang kerap dimanfaatkan oleh pelaku perusakan.

Dampak ekologisnya nyata. Data menunjukkan luas lahan kritis di NTB memang mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir, namun angka itu belum cukup menahan laju bencana hidrometeorologi di Pulau Sumbawa.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |