Ahli: Dasar penahanan di KUHAP baru perkuat asas legalitas

2 weeks ago 14
“Dasar penahanan menjadi lebih dapat diuji atau justiciable, baik oleh penasihat hukum, jaksa, maupun hakim pemeriksa pendahuluan. Ini memperkuat asas legalitas dan due process,”

Jakarta (ANTARA) - Dosen hukum acara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Febby Mutiara Nelson mengatakan dasar penahanan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru dapat memperkuat asas legalitas dan proses hukum yang semestinya (due process).

Febby saat dihubungi dari Jakarta, Minggu, menjelaskan, jika dibandingkan dengan KUHAP lama, syarat penahanan yang diatur dalam KUHAP baru menjadi lebih dapat diuji. Hal ini karena syarat penahanan tidak lagi atas dasar penilaian subjektif, tetapi dengan indikator-indikator konkret.

“Dasar penahanan menjadi lebih dapat diuji atau justiciable, baik oleh penasihat hukum, jaksa, maupun hakim pemeriksa pendahuluan. Ini memperkuat asas legalitas dan due process,” kata Febby kepada ANTARA.

KUHAP lama mengatur bahwa penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dilakukan dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan/atau mengulangi tindak pidana.

Menurut Febby, syarat penahanan yang demikian meninggalkan ruang interpretasi yang sangat luas. “Itu membuat standar penahanan sangat bergantung pada penilaian subjektif aparat,” ucapnya.

Sementara itu, terkait pengaturan di KUHAP baru, Febby mengatakan, “Syarat penahanan dipilah menjadi kurang lebih delapan indikator konkret.”

Merujuk dokumen KUHAP baru, Pasal 100 ayat (5) menyatakan penahanan harus didasari oleh dua alat bukti yang sah. Hal itu pun hanya bisa dilakukan jika tersangka atau terdakwa melakukan perbuatan tertentu, yang diatur dalam poin-poin turunannya.

Poin-poin tersebut, yakni mengabaikan panggilan Penyidik sebanyak dua kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan; menghambat proses pemeriksaan; dan berupaya melarikan diri.

Kemudian, berupaya merusak dan menghilangkan barang bukti; melakukan ulang tindak pidana; terancam keselamatannya atas persetujuan atau permintaan tersangka atau terdakwa; dan/atau memengaruhi saksi untuk tidak mengatakan kejadian sebenarnya.

Febby menilai jika diikuti dengan implementasi yang disiplin, syarat penahanan di KUHAP baru berpotensi untuk menjadikan penegakan hukum lebih optimal. Menurut dia, setidaknya ada dua alasan mengapa hal tersebut memungkinkan.

Pertama, objektivitas syarat membuat keputusan penahanan lebih akuntabel. Ini dapat mengurangi praktik penahanan yang berlebihan, sekaligus memberikan dasar yang lebih kuat ketika penahanan memang diperlukan.

“Aparat tidak lagi hanya menyebut ‘kekhawatiran’, tetapi harus menunjuk indikator konkret,” tuturnya.

Kedua, indikator konkret syarat penahanan itu dinilai sejalan dengan prinsip-prinsip modern peradilan pidana, yakni proporsionalitas, kebutuhan, dan subsidiaritas. Artinya, penahanan menjadi opsi terakhir, setelah menilai syarat-syarat secara faktual dan prosedural.

“Jika diimplementasikan dengan baik, ketepatan penahanan akan meningkat dan itu pada akhirnya menghasilkan proses peradilan yang lebih efektif, efisien, dan menghormati hak asasi manusia,” ucap dia.

Kendati demikian, ia mengingatkan bahwa perubahan norma saja tidak cukup. Ia menekankan pentingnya pelatihan aparat, konsistensi penerapan, serta penguatan mekanisme kontrol melalui hakim pemeriksa pendahuluan.

“Bila itu berjalan, KUHAP baru justru dapat meningkatkan kualitas penegakan hukum: lebih presisi, lebih transparan, dan lebih berkeadilan,” demikian Febby.

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |