Jakarta (ANTARA) - Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia pada April 2025 kembali mencatatkan surplus, sebuah capaian yang patut diapresiasi di tengah tekanan eksternal dan dinamika perekonomian domestik.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, surplus APBN per April 2025 mencapai Rp90,8 triliun atau setara dengan 0,39 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pencapaian ini bukan hanya mencerminkan kinerja fiskal yang positif, tetapi juga mengindikasikan bahwa pemerintah berhasil menjaga keseimbangan antara pendapatan dan belanja negara.
Konteks global juga memberi tekanan yang tidak ringan. Di tengah ketidakpastian akibat konflik geopolitik, pengetatan moneter oleh bank sentral global, dan perlambatan ekonomi di negara-negara mitra dagang utama seperti China dan Uni Eropa, banyak negara menghadapi pelebaran defisit fiskal.
Amerika Serikat misalnya, melaporkan defisit fiskal sebesar 6,3 persen terhadap PDB pada kuartal pertama 2025, sementara Jepang terus mencatat rasio utang terhadap PDB di atas 250 persen. Di kawasan ASEAN, Thailand mencatatkan defisit fiskal 2,7 persen, dan Filipina sebesar 4,1 persen hingga April 2025. Sehingga dalam konteks ini, keberhasilan Indonesia menjaga surplus anggaran menjadi pencapaian yang signifikan dalam tekanan ekonomi secara global.
Selain itu, beberapa negara menerapkan stimulus fiskal tambahan untuk menjaga momentum ekonomi domestik. Pemerintah India, misalnya, menggelontorkan tambahan subsidi pertanian dan infrastruktur sebesar 30 miliar dolar AS pada awal 2025, yang memperbesar tekanan anggaran mereka.
Sementara itu, negara-negara Eropa menghadapi kenaikan beban subsidi energi akibat harga gas dan minyak yang belum sepenuhnya stabil. Di tengah semua ini, Indonesia menempuh jalur yang relatif moderat dengan menajamkan belanja prioritas tanpa meningkatkan beban fiskal secara drastis.
Kinerja tiga tahun terakhir
Dalam tiga tahun terakhir, tren kinerja APBN menunjukkan dinamika yang mencerminkan adaptasi pemerintah terhadap perubahan global dan kebutuhan domestik. Pada April 2023, pendapatan negara tercatat sebesar Rp1.000,5 triliun atau sekitar 41,6 persen dari target APBN tahun tersebut. Capaian ini cukup tinggi, terutama karena didorong oleh lonjakan harga komoditas global seperti batu bara dan minyak sawit mentah (CPO), serta pemulihan ekonomi pascapandemi.
Namun pada periode sama 2024, pendapatan negara sedikit menurun menjadi Rp1.000,1 triliun. Penurunan ini disebabkan oleh koreksi harga komoditas dan mulai melambatnya aktivitas ekspor-impor seiring dengan pelemahan permintaan global. Meski demikian, pemerintah masih berhasil menjaga momentum penerimaan negara melalui optimalisasi PNBP dan penguatan kepatuhan pajak.
Memasuki April 2025, tren positif kembali terlihat. Pendapatan negara tumbuh menjadi Rp1.152,3 triliun atau 38 persen dari target tahun 2025. Pertumbuhan ini tidak lagi bergantung sepenuhnya pada harga komoditas, melainkan didukung oleh reformasi struktural, digitalisasi sistem perpajakan, dan integrasi data wajib pajak. Peran sektor jasa dan UMKM juga meningkat sebagai kontributor penerimaan negara yang lebih berkelanjutan.
Dari sisi belanja, pada April 2023 realisasi belanja negara tercatat sebesar Rp765,8 triliun. Pemerintah saat itu masih dalam masa transisi dari kebijakan pemulihan ekonomi, dengan belanja difokuskan pada penanganan pandemi dan pemulihan sektor kesehatan serta sosial. Kemudian pada April 2024, belanja meningkat menjadi Rp843,4 triliun, seiring peluncuran berbagai program stimulus baru dan bantuan sosial untuk menjaga daya beli masyarakat.
Pada April 2025, belanja negara kembali meningkat secara signifikan menjadi Rp1.061,5 triliun. Meskipun angka ini lebih tinggi, namun tetap mencerminkan belanja yang terkendali karena diarahkan secara selektif untuk program prioritas seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), subsidi energi, serta program pendidikan dan kesehatan. Pemerintah juga melakukan efisiensi dengan mengurangi belanja yang kurang produktif dan memaksimalkan teknologi untuk pengawasan dan akuntabilitas anggaran.
Dari aspek keseimbangan primer, APBN mencatatkan surplus sebesar Rp234,7 triliun pada April 2023, lalu menurun menjadi Rp156,7 triliun pada April 2024, dan kembali turun ke Rp90,8 triliun pada April 2025. Penurunan ini wajar terjadi dalam proses konsolidasi fiskal, mengingat pemerintah mulai mengembalikan defisit ke batas di bawah 3 persen PDB setelah masa pelebaran akibat pandemi. Namun, keberlanjutan surplus, meskipun dalam jumlah yang menurun, tetap mencerminkan pengelolaan fiskal yang disiplin dan adaptif.
Faktor pendorong
Terdapat sejumlah faktor yang menjadi pendorong utama di balik capaian surplus APBN pada April 2025. Pertama, keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan rasio penerimaan terhadap PDB melalui optimalisasi penerimaan perpajakan. Penerimaan perpajakan tumbuh sejalan dengan pemulihan ekonomi domestik dan implementasi reformasi pajak digital yang memperluas basis pajak, termasuk sektor ekonomi digital, UMKM, dan integrasi data lintas instansi. Sistem Coretax Administration System yang mulai berjalan sejak akhir 2024 telah mendorong peningkatan kepatuhan dan efisiensi pemungutan pajak.
Kedua, kontribusi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tetap signifikan. Sektor sumber daya alam masih menyumbang PNBP yang cukup besar meskipun harga komoditas mulai menurun. Selain itu, PNBP dari layanan kementerian/lembaga, dividen BUMN, dan hasil pengelolaan kekayaan negara juga meningkat berkat perbaikan tata kelola dan transparansi.
Ketiga, dari sisi belanja, kebijakan pengendalian pengeluaran yang disiplin dan berbasis prioritas menjadi penentu utama. Pemerintah menahan laju belanja yang bersifat non-produktif, memperkuat efektivitas belanja sosial, dan mengoptimalkan belanja modal yang mendukung pertumbuhan jangka panjang. Efisiensi dalam pengadaan barang dan jasa, serta peningkatan kualitas perencanaan anggaran, berkontribusi signifikan terhadap pengendalian defisit.
Keempat, sinergi fiskal dan moneter berjalan dengan baik. Stabilitas nilai tukar dan inflasi yang terkendali menjaga daya beli masyarakat dan meningkatkan konsumsi, yang pada gilirannya mendorong penerimaan pajak dalam negeri. Komitmen Bank Indonesia untuk mendukung stabilitas makroekonomi memberi ruang fiskal bagi pemerintah untuk menjalankan kebijakan dengan lebih fleksibel.
Kelima, koordinasi lintas sektor, termasuk antara pemerintah pusat dan daerah, dalam pelaksanaan program nasional semakin kuat. Transfer ke daerah lebih tepat sasaran dan dipantau ketat melalui digitalisasi pelaporan keuangan daerah. Ini mencegah pemborosan anggaran dan meningkatkan efektivitas belanja publik di tingkat lokal.
Secara keseluruhan, surplus APBN pada April 2025 merupakan hasil kombinasi antara kebijakan fiskal yang terukur, pendapatan yang terus dijaga pertumbuhannya, serta pengendalian belanja yang selektif namun tetap responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Selanjutnya kegiatan strategis seperti pembangunan IKN dan penguatan SDM juga tetap dijaga dalam rangka memberikan penguatan terhadap tatanan pembangunan yang robust dan berkelanjutan.
Mengawal momentum
Capaian surplus APBN pada April 2025 bukanlah hasil kebetulan, melainkan buah dari rangkaian kebijakan strategis yang konsisten dan responsif terhadap tantangan global. Pemerintah merancang kebijakan fiskal dengan orientasi jangka menengah yang disiplin namun tetap adaptif, sejalan dengan arah konsolidasi fiskal pascapandemi.
Beberapa kebijakan kunci yang menjadi fondasi keberhasilan ini antara lain adalah penguatan sistem perpajakan melalui implementasi core tax administration system, integrasi data perpajakan nasional, serta ekstensifikasi basis pajak ke sektor digital dan informal. Pemerintah juga menguatkan sinergi dengan pemerintah daerah dalam meningkatkan rasionalisasi belanja serta mengoptimalkan transfer ke daerah melalui skema berbasis kinerja.
Dari sisi pengeluaran, pemerintah menekankan efisiensi belanja melalui proses review anggaran lintas kementerian dan penguatan spending better. Belanja diarahkan pada sektor-sektor strategis seperti infrastruktur prioritas, pendidikan, kesehatan, serta pengembangan Ibu Kota Nusantara. Selain itu, pengendalian subsidi dilakukan dengan memperbaiki basis data penerima manfaat, termasuk melalui pemanfaatan teknologi dan data kependudukan terkini.
Dampak dari surplus ini sangat nyata dalam memperkuat stabilitas makroekonomi. Kepercayaan investor terhadap pengelolaan fiskal Indonesia meningkat, terlihat dari penguatan nilai tukar rupiah dan stabilitas imbal hasil surat utang negara. Dalam jangka pendek, ruang fiskal yang tercipta memberi keleluasaan bagi pemerintah untuk merespons potensi tekanan eksternal tanpa harus tergesa-gesa menaikkan utang baru.
Di sisi kebijakan publik, surplus ini juga menciptakan ruang bagi perbaikan pelayanan publik, termasuk alokasi tambahan untuk program perlindungan sosial yang bersifat adaptif dan mendukung pertumbuhan inklusif. Pemerintah dapat menjaga kesinambungan belanja prioritas tanpa mengorbankan kredibilitas fiskal.
Namun demikian, surplus ini harus dipandang sebagai momentum strategis, bukan tujuan akhir. Pemerintah perlu mempertahankan kualitas belanja, memperdalam reformasi perpajakan, dan mengantisipasi risiko global seperti volatilitas harga energi, perlambatan mitra dagang, serta tensi geopolitik yang mempengaruhi arus modal global.
Dengan menjaga keseimbangan antara pertumbuhan, keberlanjutan fiskal, dan keadilan sosial, surplus APBN April 2025 dapat menjadi fondasi yang kokoh untuk membangun ketahanan ekonomi nasional di tengah gejolak global yang terus berubah.
*) Dr. Lucky Akbar, S.Sos, M.Si adalah Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi
Copyright © ANTARA 2025