Lombok Barat (ANTARA) - Produk biomassa yang terbuat dari limbah kayu secara perlahan mengurangi konsumsi batu barat pada fasilitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jeranjang di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
Manajer Unit Bisnis Pembangkit PLTU Jeranjang Yunisetya Ariwibawa mengatakan pada uji coba tahun 2019 hanya 5 ton biomassa selama satu bulan, sedangkan sekarang rata-rata konsumsi biomassa bisa di atas 150 ton setiap hari.
"Jumlah itu pasti meningkat karena kami menyesuaikan dengan target tahunan untuk kami capai," ujarnya saat ditemui di kawasan PLTU Jeranjang yang berada di Desa Kebonayu, Kecamatan Gerung, Lombok Barat, Kamis.
Pada 2024, target pemanfaatan biomassa di PLTU Jeranjang sebanyak 28.675 ton dengan target satuan pengukuran dari sumber energi hijau atau MWh green sebanyak 22.940 megawatt-jam. Angka realisasi pemakaian biomassa mencapai 29.009 ton dengan realisasi MWh green sebanyak 25.043 megawatt-jam.
Sedangkan, target pemakaian biomassa pada tahun 2025 sebesar 35.200 ton dengan MWh green sebanyak 28.847 megawatt-jam. Sampai 13 Mei 2025, realisasi pemakaian biomassa di PLTU Jeranjang sebanyak 14.621 ton dengan jumlah realisasi satuan pengukuran dari sumber energi hijau mencapai 11.021 megawatt-jam.
Ariwibawa menuturkan implementasi pemanfaatan biomassa yang dilakukan oleh Perusahaan Listrik Negara melalui program co-firing dapat mengurangi emisi yang dihasilkan dari pembakaran batu bara dan membantu masyarakat mengurangi limbah organik.
"Co-firing sangat baik terutama dari aspek dampak lingkungan karena non karbon, sehingga mengurangi emisi dari PLTU. Ini tentu lebih bagus dibanding kami full menggunakan batu bara," ucapnya.
PLTU Jeranjang menggunakan biomassa masih dalam porsi kecil hanya sebanyak 10 persen dari jumlah bahan bakar batu bara yang pakai untuk mengoperasikan pembangkit listrik. Bahan baku biomassa berupa serbuk kayu atau sawdust dan kayu cacah atau woodchip diperoleh dari empat pemasok lokal.
Direktur PT Syahroni Rezeki Mandiri, Syamsul Hadi (33 tahun), mengatakan bahan baku pembuatan biomassa didapatkan dari limbah usaha penggergajian kayu di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, termasuk juga limbah pohon tebangan berupa daun, dahan, dan ranting.
Pria yang memulai karir sebagai supir truk kayu itu pernah mengelola pabrik pengolahan kayu. Saat itu limbah dari pengolahan kayu menimbulkan masalah lingkungan karena tidak ada nilai manfaat.
Syamsul bahkan harus membayar orang untuk membuang limbah kayu tersebut. Ketika limbah kayu dibuang ke lahan warga bisa membuat tanaman mati, sehingga acapkali mendapatkan komplain dari warga.
"Program co-firing sangat menguntungkan karena dari yang awalnya hanya limbah terbuang, sekarang punya nilai ekonomi yang bisa dipakai untuk menghasilkan listrik," pungkas pria berkulit sawo matang itu.
UPTD TPA Regional Kebon Kongok menyatakan implementasi biomassa melalui co-firing bisa memperpanjang usia tempat pembuangan akhir (TPA) karena sampah taman tidak semuanya masuk ke landfill.
Kayu gelondongan hasil tebangan pohon peneduh jalan raya kini bisa diolah menjadi produk biomassa untuk bahan bakar PLTU Jeranjang. Sampah taman yang tidak diolah membuat tempat pembuangan akhir cepat penuh.
Kepala Seksi Pengolahan dan Pemrosesan Akhir UPTD TPA Regional Kebon Kongok Mulyadi Gunawan menuturkan timbulan sampah taman dari Kota Mataram dan Lombok Barat yang masuk ke TPA Regional Kebon Kongok mencapai 74,40 ton atau setara 22,9 persen dari total timbulan sampah yang mencapai 324 ton setiap hari.
"Kami bisa mengurangi kurang lebih 20 ton setiap hari sampah taman. Kami anggap itu menjadi upaya untuk memperpanjang umur tempat pembuangan akhir," pungkas Mulyadi.
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Hisar Sitanggang
Copyright © ANTARA 2025