Jakarta (ANTARA) - Chief Economist Permata Bank Josua Pardede mengingatkan, Indonesia perlu mempertimbangkan dan mengantisipasi kembali risiko pelemahan ekonomi China sebagai dampak tidak langsung dari perang tarif yang dilancarkan Amerika Serikat (AS).
Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi China pada tahun ini dan tahun depan menjadi 4 persen. Ini dapat menjadi salah satu risiko bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia mengingat tujuan ekspor Indonesia ke China memiliki pangsa sekitar 20-25 persen dari total ekspor di Indonesia.
"Sehingga tentunya perlambatan ekonomi Tiongkok ini pun juga akan turut mempengaruhi kinerja perekonomian Indonesia nantinya dan akan juga berimplikasi kepada kinerja dari sisi sektor keuangan di Indonesia,” kata Josua dalam webinar OJK Institute di Jakarta, Kamis.
Josua menjelaskan, simulasi yang dilakukan Permata Bank menunjukkan bahwa setiap perlambatan 1 poin persen ekonomi China akan bisa berdampak negatif kepada perlambatan ekonomi Indonesia sekitar 0,1 poin persen. Sedangkan perlambatan ekonomi AS akan berdampak sekitar 0,07 persen poin persen ke ekonomi Indonesia.
Sementara itu, harga komoditas ekspor utama Indonesia, seperti CPO dan batubara, juga diperkirakan menurun imbas perang tarif AS. Berdasarkan simulasi, Josua mencatat bahwa setiap 10 persen penurunan harga CPO dan batubara akan berimplikasi kepada perlambatan PDB Indonesia masing-masing sekitar 0,09 poin persen dan 0,08 poin persen.
Apabila dampak perang tarif dilihat secara sektoral, Josua mengatakan bahwa struktur ekspor Indonesia ke AS memang didominasi oleh produk manufaktur dengan beberapa subsektornya menunjukkan ketergantungan yang cukup tinggi.
Pada 2024, ekspor manufaktur ke AS mencapai 25,1 miliar dolar AS yang mencakup 12,9 persen dari total ekspor manufaktur Indonesia. Terdapat 14 industri yang memiliki eksposur signifikan yang menjadikannya sangat rentan terhadap perubahan tarif dari AS.
Lebih lanjut, imbuh Josua, dampak tarif AS akan bervariasi antar sektor. Industri yang sangat berorientasi ekspor dan bergantung pada pasar AS seperti tekstil, alas kaki, elektronik, furnitur, dan produk karet, diperkirakan akan menghadapi risiko yang terbesar.
Sebaliknya sektor pertambangan dan pertanian ini menunjukkan ketergantungan langsung yang terbatas terhadap AS, meskipun tetap rentan terhadap dampak tidak langsung melalui penurunan harga komoditas global di tengah meningkatnya ketegangan perdagangan.
Josua menambahkan, pasar komoditas telah merespon kebijakan Presiden AS Donald Trump di mana harga minyak, tembaga, nikel, dan produk pertanian menurun cukup tajam setelah eskalasi perang dagang.
“Jika eskalasi perdagangan ini berlanjut, maka pertumbuhan ekonomi global pun juga bisa melemah lebih jauh sehingga ini akan bisa menurunkan permintaan eksternal termasuk ekspor Indonesia,” kata dia.
Josua memandang, dampak langsung perang tarif terhadap ekonomi Indonesia sebenarnya relatif marginal atau tidak signifikan. Ini mempertimbangkan bahwa perekonomian Indonesia masih didominasi oleh konsumsi rumah tangga, sehingga dampaknya terhadap perlambatan ekonomi domestik pun relatif dapat bisa dimitigasi dengan penguatan ekonomi domestik.
“Oleh sebab itu, reformasi struktural tetap harus dijalankan dan dipercepat dalam rangka memperkuat ekonomi domestik kita ke depannya,” kata dia.
Sejak Trump menjabat, perang dagang jilid 2 dimulai dengan eskalasi paling signifikan terjadi antara AS dan China yang saling menerapkan tarif balasan. Perkembangan terbaru, AS dan China akhirnya mencoba berunding untuk meredam ketegangan. Meski ada harapan sinyal positif, Josua mengingatkan adanya risiko yang masih akan berlangsung.
“Kalau kita melihat ke depannya, tentunya risiko ataupun probability apakah gencatan perang dagang ini akan berlanjut atau tidak, tentunya probability ini pun akan dipengaruhi lagi oleh bagaimana dinamika dalam negosiasi dagang antara kedua belah pihak ke depannya,” kata Josua.
Baca juga: Apindo: Indonesia punya peluang strategis di tengah perang dagang
Baca juga: Anin sebut pentingnya keseimbangan perdagangan bilateral dengan AS
Baca juga: Akademisi UGM sebut perang tarif peluang RI jadi negara basis produksi
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2025