Mataram (ANTARA) - Pemanfaatan biomassa melalui program co-firing yang diterapkan kepada pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU menjadi pilar baru dalam membangun ekonomi berbasis kerakyatan di Nusa Tenggara Barat.
Manajer Unit Bisnis Pembangkit PLTU Jeranjang Yunisetya Ariwibawa mengatakan banyak orang terlibat dalam proses pembuatan biomassa hingga berakhir ke tungku pembakaran PLTU.
"Kebutuhan biomassa PLTU Jeranjang rata-rata masih dari masyarakat sekitar. Itu dampak sosialnya cukup baik karena memberikan peluang kerja," kata Ariwibawa saat ditemui di kawasan PLTU Jeranjang yang berada di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Kamis.
Masyarakat berpartisipasi aktif dalam sistem ekonomi biomassa tersebut mulai dari petani, pabrik kayu, supir truk pengangkut, operator mesin pencacah, sampai buruh pilah. Mereka saling bergotong royong membuat serbuk kayu (sawdust) dan kayu cacah (woodchip) untuk dicampur dengan batu bara.
PLTU Jeranjang merupakan salah satu tulang punggung dalam menyuplai setrum di Pulau Lombok dengan kapasitas terpasang sebesar 3 x 25 megawatt.
Hingga 13 Mei 2025, PLTU Jeranjang sudah melahap 14.621 ton biomassa yang menghasilkan listrik hijau setara 11.021 megawatt-jam. Target pemakaian biomassa sepanjang tahun ini sebanyak 35.200 ton dengan target produksi setrum hijau sebesar 28.847 megawatt-jam.
Direktur PT Syahroni Rezeki Mandiri, Syamsul Hadi (33 tahun), menyatakan pabrik penghasil biomassa yang dia kelola mampu memperkerjakan sebanyak 300 orang yang didominasi oleh warga sekitaran pabrik. Mereka yang bekerja membuat biomassa tersebut berasal dari berbagai latar belakang, seperti buruh serabutan, ibu rumah tangga, sampai mantan pekerja migran Indonesia.
"Biomassa menciptakan lapangan pekerjaan baru. Orang-orang yang bekerja bukan hanya laki-laki, anak muda kuat, tetapi juga ada orang tua, ibu rumah tangga, atau nenek-nenek bisa kami berdayakan," ujarnya.
Para pekerja harian dan borongan biomassa memperoleh upah yang justru lebih besar ketimbang standar upah minimum daerah.
Syamsul memberikan upah supir truk Rp75 ribu sekali jalan dari gudang penyimpanan ke PLTU Jeranjang, beberapa supir mampu empat kali jalan yang itu artinya mencapai Rp300 ribu dalam sehari. Upah pencacah borongan sebanyak Rp300 ribu untuk setiap truk.
Adapun upah ibu-ibu yang mengemas serbuk kayu ke dalam karung dihargai Rp2.500 untuk setiap karung. Mereka dapat mengemas biomassa serbuk kayu hingga 80 karung setiap hari.
Suhaidi (46 tahun) adalah salah satu pekerja yang menangani produk biomassa di PT Syahroni Rezeki Mandiri. Dia merupakan mantan pekerja migran Indonesia yang telah bekerja ke Malaysia sebagai buruh panen kelapa sawit sejak tahun 1997 sampai 2024.
Suhaidi memutuskan pulang ke Lombok karena terhalang umur yang tidak lagi muda. Batas umur paling tua untuk masuk bekerja di Malaysia adalah 39 tahun. Ketika menjadi pekerja biomassa sejak November 2024, dia menangani borongan mesin pencacah dan mengendarai truk untuk mengantar produk biomassa dari gudang ke PLTU Jeranjang.
Setiap hari, Suhaidi dapat mengantongi upah paling sedikit Rp150 ribu dan bisa mencapai Rp400 ribu sebagai pekerja biomassa. Upah yang diterima setiap hari tersebut cukup untuk kebutuhan hidup dengan empat anggota keluarga di rumah.
"Alhamdulillah cukup untuk keluarga. Kalau dapat empat perjalanan antar biomassa dapat Rp300 ribu. Di sini kadang saya ambil ke sawmill bisa dapat Rp400 ribu setiap hari," pungkas pria yang memiliki dua anak dan satu isteri tersebut.
Baca juga: Cofiring biomassa PLTU Paiton mampu buka lapangan kerja baru
Baca juga: Cofiring biomassa PLTU PLN bantu sejahterakan masyarakat Kalbar
Baca juga: Pemprov NTB cari mitra bangun pembangkit listrik berbasis sampah
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2025