Manila (ANTARA) - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Selasa (25/11) menyatakan bahwa kekerasan terhadap wanita dan anak perempuan masih marak di seluruh dunia, dengan data terbaru menunjukkan bahwa hampir satu dari tiga perempuan pernah mengalami kekerasan oleh pasangan intim (intimate partner violence/IPV) atau kekerasan seksual sepanjang hidupnya, angka yang hampir tidak berubah dalam 25 tahun terakhir.
WHO menyatakan bahwa temuan ini menyoroti kenyataan tak terbantahkan bahwa, terlepas dari adanya advokasi dan langkah kebijakan selama puluhan tahun, kekerasan berbasis gender tetap menjadi krisis sosial dan kesehatan masyarakat yang dapat dicegah serta pelanggaran hak asasi manusia yang serius.
Kekerasan semacam itu meninggalkan dampak fisik, emosional, dan ekonomi yang berkepanjangan, serta berkontribusi terhadap depresi, cedera, hasil reproduksi yang buruk, serta membatasi kemampuan kaum perempuan untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam masyarakat, kata WHO dalam pernyataan persnya.
Di Wilayah Pasifik Barat, WHO menyebutkan lebih dari seperempat wanita dan anak perempuan pernah mengalami IPV atau kekerasan seksual.
Sekitar 9 persen perempuan berusia 15 hingga 49 tahun mengalami IPV dalam setahun terakhir, dengan tingkat nasional berkisar antara 1,2 persen hingga 42,2 persen. Sekitar 4,3 persen mengalami kekerasan seksual nonpasangan dalam 12 bulan terakhir, sementara 9,4 persen pernah mengalami kekerasan semacam itu dalam hidup mereka.
Hampir satu dari lima perempuan di wilayah ini pernah mengalami IPV sepanjang hidup mereka, lebih rendah dari rata-rata global, yaitu satu dari empat perempuan. Namun, WHO menekankan bahwa beban tersebut tetap tergolong berat.
Di beberapa negara kepulauan Pasifik, badan tersebut mengatakan prevalensi IPV semasa hidup mencapai satu dari dua perempuan, salah satu level tertinggi yang tercatat secara global.
"Momok kekerasan terhadap wanita dan anak perempuan tetap menjadi salah satu pelanggaran hak asasi manusia paling mengerikan dan ancaman serius bagi kesehatan," kata Direktur regional WHO untuk Pasifik Barat Saia Ma'u Piukala.
Dia mengatakan bukti terbaru semakin memperjelas perlunya pengambilan tindakan.
"Pemerintah dan masyarakat harus menggunakan data untuk mendorong kebijakan yang lebih kuat, memperluas upaya pencegahan, dan berinvestasi dalam kesiapan sistem kesehatan, sehingga setiap anak perempuan terlindungi dan semua wanita diberdayakan," ujar Piukala.
Survei baru WHO tentang kesiapan sistem kesehatan dalam merespons kekerasan interpersonal menunjukkan bahwa meskipun banyak negara sedang memperkuat kebijakan untuk mencegah kekerasan terhadap wanita dan anak perempuan, kesenjangan besar tetap ada dalam penyaluran layanan esensial dan pengumpulan data yang andal.
Menurut survei tersebut, lebih banyak negara kini mengintegrasikan strategi untuk menangani kekerasan ke dalam rencana multisektoral nasional dan mengakui peran penting sistem kesehatan dalam merespons kebutuhan penyintas. Namun, implementasinya belum merata.
Meskipun beberapa negara memasukkan IPV dan perawatan pascapemerkosaan ke dalam rencana kesehatan nasional mereka, banyak yang masih kesulitan memastikan penyintas dapat secara konsisten mengakses layanan krusial ini.
Perawatan pascapemerkosaan yang komprehensif hanya tersedia secara nasional di segelintir negara, menyebabkan ketimpangan geografis yang mencolok. Sistem data juga masih lemah, menurut survei tersebut.
Hanya sekitar separuh dari seluruh negara di dunia telah melakukan survei terbaru tentang kekerasan terhadap perempuan, dan bahkan lebih sedikit lagi yang memiliki data pembunuhan yang dapat digunakan, celah yang menghambat pemantauan, pertanggungjawaban, dan pembuatan kebijakan yang efektif.
Pewarta: Xinhua
Editor: Imam Budilaksono
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































