Jakarta (ANTARA) - Riba merupakan salah satu praktik yang secara tegas dilarang dalam ajaran Islam. Istilah ini merujuk pada pengambilan keuntungan tambahan dalam transaksi pinjam meminjam atau jual beli yang tidak dibenarkan oleh syariat.
Secara etimologis, riba berasal dari bahasa Arab yang berarti "kelebihan" atau "tambahan". Dalam praktiknya, riba terjadi ketika terjadi penambahan nilai secara tidak adil dalam suatu transaksi, khususnya pada kegiatan pinjam-meminjam uang atau pertukaran barang, yang menyebabkan kerugian atau penindasan terhadap salah satu pihak.
Ulama seperti Syeikh Muhammad Abduh mendefinisikan riba sebagai tambahan yang dibebankan kepada pihak peminjam karena menunda pembayaran dari waktu yang telah ditentukan. Sementara itu, mufasir kenamaan Ibnu Katsir menyebut bahwa menolong seseorang dengan maksud meraup keuntungan secara berlebihan juga termasuk bentuk riba.
Jenis-jenis riba dalam Islam
Dalam Islam, riba diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis yang memiliki karakteristik berbeda. Berikut penjelasan lima jenis riba yang perlu dikenali:
1. Riba Fadhl
Riba ini terjadi ketika terjadi pertukaran barang sejenis namun tidak setara dari segi kualitas maupun kuantitas, sehingga menimbulkan ketidakadilan dalam transaksi. Misalnya, menukar emas dengan emas, tetapi dengan berat yang berbeda, atau menukar beras dengan beras dalam jumlah yang tidak sama.
Baca juga: Hukum mengugurkan kandungan dengan sengaja dalam pandangan Islam
2. Riba Qardh (Qordhi)
Riba jenis ini muncul dalam transaksi pinjaman uang, ketika pemberi pinjaman mensyaratkan pengembalian lebih dari jumlah pinjaman pokok. Contohnya, seseorang meminjam Rp200.000, namun harus mengembalikan Rp210.000. Tambahan Rp10.000 tersebut tergolong sebagai riba dan hukumnya haram.
3. Riba Yad
Riba yad terjadi apabila akad jual beli berlangsung namun belum terjadi serah terima barang secara langsung, dan pihak yang bertransaksi sudah berpisah. Misalnya, seseorang membeli hasil bumi yang belum dipanen, tetapi transaksi dilakukan sebelum barang benar-benar berpindah tangan.
4. Riba Nasi’ah
Ini merupakan riba yang terjadi dalam bentuk penangguhan penyerahan barang atau pembayaran dalam transaksi jual beli. Contohnya adalah jual beli hasil panen yang dibayar atau diserahkan pada waktu panen tiba, padahal akad dilakukan sebelumnya.
5. Riba Jahiliah
Jenis riba ini dikenal luas pada masa sebelum datangnya Islam, yaitu ketika pelunasan utang dikenakan tambahan karena keterlambatan pembayaran. Apabila peminjam tidak mampu membayar tepat waktu, maka ia diwajibkan membayar lebih dari pinjaman pokoknya.
Baca juga: Hukum hamil di luar nikah dalam perspektif Islam
Dasar hukum larangan riba
Larangan riba dalam Islam memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an, hadis, serta fatwa ulama kontemporer. Berikut beberapa dasar hukumnya:
1. Al-Qur’an
Dalam QS. Ali Imran ayat 130, Allah SWT berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung."
Sementara itu, QS. Al-Baqarah ayat 275 menegaskan:
"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa pun yang telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya (tentang riba), lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya, dan urusannya (terserah) kepada Allah. Dan siapa yang mengulangi (transaksi riba), maka mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya."
Ayat ini memberikan peringatan keras bagi mereka yang tetap melakukan praktik riba meski telah mengetahui larangannya.
2. Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2004
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa riba adalah tambahan tanpa imbalan (‘iwadh) yang muncul akibat penangguhan pembayaran dalam transaksi utang piutang. Konsep ini dikenal sebagai riba nasi’ah, yang hukumnya haram.
Riba dalam segala bentuknya merupakan perbuatan yang dilarang keras dalam Islam karena bersifat eksploitatif dan merugikan secara sosial maupun ekonomi. Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan untuk berhati-hati dalam bertransaksi agar terhindar dari praktik riba dan tetap berada dalam koridor keadilan yang diajarkan oleh syariat.
Baca juga: Benarkah percaya zodiak batalkan aqidah? Simak pandangan para ulama
Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025