Guruku sayang, guruku (jangan sampai) malang

2 weeks ago 7
Wahai guru, tetaplah mengajar dengan hati; tetaplah menyalakan api kecil itu, meski suasana kadang terasa remang.

Jakarta (ANTARA) - Indonesia Emas 2045 selalu bicara tentang kualitas manusia, tetapi kita jarang menoleh kepada para guru yang mengasah kualitas itu setiap hari.

Para guru berdiri di garis depan, tapi jejak langkah mereka sering tenggelam di balik gegap gempita visi besar bangsa.

Kini, perlahan muncul janji perubahan, dan kita hanya perlu memastikan janji itu tak berhenti sebagai gema di udara.

Indonesia sedang menulis babak penting menuju Visi Indonesia Emas 2045, sebuah cita-cita besar tentang bangsa yang maju, mandiri, dan bermartabat.

Di atas kertas, visi ini bertumpu pada satu pilar utama: kualitas sumber daya manusia. Namun, di balik gebyar jargon dan optimisme pembangunan, ada sebuah ironi yang terus mengintip dari balik tirai: masa depan yang besar ini dititipkan pada pundak para guru yang justru masih harus memperjuangkan kesejahteraan paling dasar.

Ada satu ironi yang selalu muncul di setiap Hari Guru: kita berlomba merayakan mereka dengan pujian manis, tetapi sering lupa bahwa profesi ini berdiri di antara tuntutan tinggi dan penghargaan yang tak selalu sepadan.

Setiap tahun, peringatan Hari Guru seolah-olah menjadi cermin yang menegaskan kontradiksi lama: kita ingin melompat jauh ke masa depan, tetapi masih terseok menyelesaikan perkara paling mendasar di ruang kelas.

Guru dituntut profesional, adaptif, kreatif, dan inspiratif. Namun banyak dari mereka masih harus memikirkan hal-hal sesederhana: cukup tidak hari ini untuk membeli kebutuhan rumah tangga? Bagaimana nasib status kepegawaian yang bertahun-tahun digantung? Kapan mereka bisa benar-benar mengajar tanpa dibelit pekerjaan administratif yang tak ada habisnya?

Padahal, dalam logika paling sederhana sekalipun, bangsa tak mungkin melahirkan generasi emas jika para “pengrajinnya” sendiri dibiarkan bekerja dalam keadaan perak, bahkan tembaga.

Kualitas pembelajaran mustahil melesat bila guru lebih sering menambal keseharian ketimbang memoles kompetensi.

Untuk mencetak anak didik yang kritis dan berkarakter, guru seharusnya memiliki ruang untuk tumbuh, bukan justru terjerat oleh laporan, formulir, data, dan rutinitas administratif yang memakan energi tanpa menambah mutu.

Di tengah udara pesimis yang kadang memenuhi percakapan tentang kesejahteraan pendidik, beberapa angin segar memang mulai berhembus.

Baca juga: Kado HGN 2025, Mendikdasmen-Kapolri setujui restorative justice guru

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |