Feature: Perang hancurkan harapan dan mimpi anak-anak Sudan

1 day ago 9

Khartoum (ANTARA) - Muayad Kamel (13) berjalan menyusuri pasar pusat di Khartoum bagian selatan, sembari menggenggam sebuah kotak plastik kecil yang berisi tasbih, tisu, dan miswak, ranting pembersih gigi. Setiap langkahnya mencerminkan beban yang terlalu berat untuk orang seusianya.

Pasar tersebut, yang terletak di sekitar terminal bus yang dulunya ramai, perlahan-lahan mulai hidup kembali, diiringi suara teriakan para pedagang dan dengungan konstan dari mesin genset, yang merupakan satu-satunya sumber listrik. Kamel menyelinap dengan tenang di antara kendaraan-kendaraan yang terparkir, melewati deretan bus yang setengah terisi. Dengan suara yang nyaris tak terdengar, dia mengangkat kotak ke arah jendela bus untuk menawarkan dagangannya.

Debu halus menempel di wajah dan pakaian yang sudah usang akibat terik matahari sepanjang hari. "Dulu saya termasuk salah satu murid berprestasi. Namun, sekarang saya harus membantu keluarga saya," katanya lirih ketika ditanya alasan dia berhenti sekolah.

Ayahnya sedang sakit dan dia memiliki beberapa adik. Setiap hari, Kamel bekerja lebih dari 10 jam, mulai sejak pagi dan pulang sebelum matahari tenggelam. Pada hari yang baik, penghasilannya bisa mencapai sekitar 5.000 pound Sudan (1 pound Sudan = Rp27).

"Ini tidak cukup untuk sekadar membeli kacang fava untuk dimakan keluarga saya," katanya sambil menyeka keringat di dahinya. "Namun, saya senang bisa membantu. Saya hanya berharap mimpi buruk ini segera berakhir dan kami bisa kembali ke kehidupan yang normal," tambahnya sembari tersenyum tipis.

Di balik senyuman itu tersimpan kesedihan yang mendalam, kesedihan yang dirasakan oleh anak-anak Sudan yang tak terhitung jumlahnya, yang kehidupannya dihancurkan oleh perang yang sedang berlangsung antara Angkatan Bersenjata Sudan dan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Forces/RSF).

Memasuki tahun ketiga konflik, anak-anak harus menanggung beban yang berat, dengan kehidupan, pendidikan, dan harapan mereka untuk masa depan berada di ujung tanduk. Menurut laporan dari Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) yang dirilis pada 15 April, jumlah anak-anak yang membutuhkan bantuan kemanusiaan meningkat dua kali lipat, dari 7,8 juta di awal 2023 menjadi lebih dari 15 juta pada 2025.

Di sebuah sekolah darurat yang didirikan oleh para aktivis di kawasan permukiman Al-Inqaz di Khartoum, Muram (10) duduk di lantai, dengan teliti menggambar burung merpati di buku catatannya. "Saya belajar bahwa burung merpati adalah simbol perdamaian, dan saya berdoa agar perdamaian menyebar ke seluruh negeri dan kehidupan akan kembali normal," katanya dengan suara penuh harapan.

Muram merupakan salah satu dari sekitar 15 anak yang bersekolah di sekolah sementara tersebut, salah satu upaya sederhana untuk mengembalikan semangat belajar dan rutinitas setelah pendidikan terhenti secara tiba-tiba akibat pecahnya konflik pada pertengahan April 2023.

Tanpa meja atau kursi serta perlengkapan yang memadai, sekolah itu mengandalkan metode improvisasi agar tetap berjalan, mencerminkan kesulitan ekonomi yang lebih luas. Namun demikian, Muram tampak berseri karena mendapat kesempatan untuk belajar kembali. "Saya kehilangan tas sekolah, buku, dan pulpen karena perang, tetapi saya senang bisa kembali bersekolah," katanya.

Muram merindukan teman-teman dan rekan sekelasnya yang dia tinggalkan di sekolah asalnya. "Banyak teman sekelas saya yang mengungsi ke daerah lain dan sekarang tinggal di kamp-kamp. Perang telah merenggut mimpi kami untuk belajar dan memaksa kami meninggalkan rumah," ujarnya.

"Lebih dari 17 juta anak tak bersekolah akibat perang dan dampaknya yang menghancurkan," ungkap Sekretaris Jenderal Dewan Kesejahteraan Anak Nasional (National Council for Child Welfare/NCCW) Sudan Abdul Qadir Abdullah Abu.

"Jutaan orang tidak memiliki akses terhadap pendidikan atau tempat tinggal. Sementara, yang lainnya mengungsi dan hidup sebagai pengungsi," ungkap Abu kepada Xinhua.

Ia memperkirakan sekitar 8 juta anak mengungsi di wilayah Sudan dan 1,5 juta lainnya telah melarikan diri dan menjadi pengungsi di negara lain.

Menurut UNICEF, Sudan sedang bergulat dengan krisis pengungsian anak terbesar di dunia, yang membahayakan masa depan 24 juta warga termudanya.

Di sebuah kamp pengungsian di Port Sudan, yang saat ini menjadi ibu kota sementara Sudan, Kamal (11) mencoba memainkan alat musik yang disediakan oleh sebuah band lokal dalam sebuah acara hiburan yang langka bagi anak-anak.

Meski dia berusaha menyembunyikannya, kesedihan terlihat jelas di wajah Kamal. Jari-jemarinya gemetar saat memainkan alat musik tersebut, memperlihatkan ketegangan dan ketakutan yang membebani pikirannya yang masih muda.

"Saya tidak betah di sini. Kami dulu memiliki rumah yang indah di Khartoum, dan saya berharap kami bisa kembali ke sana," kata Kamal dengan suara pelan.

Kamal kini tinggal bersama ibu dan saudara-saudaranya di sebuah kamp yang didirikan di dalam sebuah sekolah di kawasan permukiman Al-Sika Hadeed, Port Sudan. Ayahnya meninggal beberapa tahun lalu.

Meski keluarganya telah berada di sini selama lebih dari satu tahun, Kamal masih belum bisa menyesuaikan diri dan menggambarkan tempat itu sebagai sesuatu yang "asing dan sepi."

"Tidak ada tempat bermain di sini, dan ibu saya tidak mengizinkan saya keluar rumah. Saya merasa terkungkung," katanya.

Tinggal di kamp pengungsian menimbulkan tantangan serius bagi anak-anak, ujar psikolog Sudan, Ibtisam Al-Tayeb. "Ruang-ruangnya sangat sempit, dengan sering kali tiga atau empat keluarga terpaksa berbagi satu kamar atau ruang kelas," jelasnya.

"Tumbuh di kamp pengungsian meninggalkan dampak jangka panjang pada perilaku, pemikiran, hubungan, dan kesehatan mental anak-anak," tuturnya kepada Xinhua.

Ia mengatakan "kami khawatir masa depan anak-anak ini akan dibentuk oleh warisan ketidaktahuan, kekerasan, dan pengungsian, sebuah beban yang dapat memberatkan generasi yang akan datang."

Read Entire Article
Rakyat news | | | |