Upaya menyelamatkan tempalak mirah Pulau Bangka

11 hours ago 3
Dalam konteks yang lebih luas, tempalak mirah dapat dijadikan simbol perjuangan ekologi Bangka Belitung.

Pangkalpinang (ANTARA) - Di balik gemuruh aktivitas pertambangan bijih timah dan desakan ekspansi perkebunan kelapa sawit di Pulau Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, tersembunyi ikan endemik bernama tempalak mirah (Betta burdigala) di selatan pulau penghasil bijih timah terbesar di Indonesia itu.

Meskipun berukuran mungil dan hidup di perairan tenang rawa-rawa gambut dan sungai kecil, tempalak mirah ini memiliki makna besar bagi identitas ekologis dan budaya masyarakat Bangka Selatan.

Keberadaannya bukan sekadar soal taksonomi atau catatan ilmiah, tetapi juga cermin dari kearifan lokal yang telah diwariskan turun-temurun. Tapi, kini nasib ikan ini berada di ambang kepunahan, terhimpit oleh kerakusan manusia dan minimnya perhatian kebijakan konservasi yang konkret.

Dalam laporan terbaru International Union for Conservation of Nature (IUCN), tempalak mirah masuk dalam kategori Critically Endangered (CR) alias berstatus sinyal merah yang menandakan bahwa spesies ini satu langkah lagi menuju kepunahan di alam liar.

Lihatlah contoh kasus yang terjadi di Desa Bikang, salah satu lokasi yang dulunya menjadi habitat subur bagi tempalak mirah. Dalam kurun waktu dua dekade, perubahan drastis terjadi.

Rawa-rawa berubah menjadi permukiman, aliran air tersumbat, dan pepohonan gambut ditebang habis untuk membuka jalan bagi kebun-kebun sawit. Hasilnya, populasi tempalak merosot tajam.

Pembina Yayasan Ikan Endemik Kepulauan Babel "The Tanggokers" Swarlanda mengatakan ikan tempalak mirah merupakan satu dari sekian spesies betta yang menyimpan kekhasan endemis, artinya spesies ini tidak bisa ditemukan di belahan dunia mana pun kecuali di habitat aslinya di Pulau Bangka bagian selatan.

Karakter warna merah marun menyala pada tubuh ikan itu melahirkan nama "mirah" yang dalam bahasa setempat berarti merah atau kemerahan seperti batu permata.

Dalam lanskap budaya lokal, kata Swarlanda, penyematan nama ini bukanlah sekadar deskripsi fisik, melainkan bentuk penghormatan dan relasi emosional masyarakat dengan spesies ini.

Ikan ini bukan sekadar organisme air tawar biasa, namun ikan ini adalah narasi hidup tentang bagaimana masyarakat lokal membaca alam, menamainya dan menjadikannya bagian dari keseharian.

Namun, seiring berjalannya waktu, relasi harmonis antara manusia dan lingkungan di Bangka Selatan mulai goyah. Kawasan rawa dan aliran air yang menjadi rumah bagi tempalak mirah kian menyempit, tergerus oleh gelombang pembangunan yang kerap tidak ramah lingkungan.

Baca juga: Ikan Tempalak Mirah endemik Pulau Bangka terancam punah

Kawasan hutan rawa yang dulunya tenang kini berubah menjadi blok-blok konsesi perkebunan kelapa sawit. Sungai-sungai kecil yang dahulu jernih dan menjadi habitat alami, kini terkontaminasi oleh sedimentasi, limbah rumah tangga dan aktivitas tambang inkonvensional.

Ironisnya, semua itu terjadi di depan mata tanpa resistensi berarti dari pemangku kepentingan, karena masih banyak pihak menganggap ikan kecil ini tidak lebih dari entitas yang bisa diabaikan karena tidak berkontribusi langsung terhadap ekonomi makro.

Padahal, kekayaan hayati seperti tempalak mirah menyimpan potensi luar biasa dalam pembangunan berkelanjutan, terutama jika diintegrasikan ke dalam pendekatan ekonomi berbasis kearifan lokal.

Bayangkan jika masyarakat setempat diberdayakan untuk mengembangkan budidaya tempalak mirah sebagai bagian dari ekonomi kreatif lingkungan. Produk turunan seperti akuarium endemik, wisata edukasi lingkungan, hingga promosi ekoturisme berbasis spesies endemik dapat membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan pendapatan daerah.

Hal ini hanya bisa terwujud jika keberadaan ikan ini dijadikan landasan kebijakan dan strategi pembangunan daerah, bukan semata hiasan dalam dokumen administratif.

Jika tidak segera ditangani, skenario serupa akan meluas ke desa-desa lain di Bangka Selatan yang saat ini masih memiliki kantong-kantong populasi tempalak mirah. Pemerintah daerah bersama masyarakat, akademisi, dan pegiat lingkungan harus menyusun rencana konservasi jangka panjang.

Bukan hanya melindungi spesiesnya, tetapi juga memulihkan habitat alaminya. Ini bisa dimulai dengan zonasi kawasan konservasi perairan kecil dan perlindungan lahan basah, penghentian alih fungsi lahan yang tidak ramah lingkungan, serta revitalisasi sungai-sungai mikro yang menjadi jalur kehidupan bagi spesies ini.

Lebih jauh lagi, penting untuk memasukkan nilai-nilai konservasi ikan endemik ke dalam kurikulum lokal dan program edukasi masyarakat. Generasi muda di Bangka Selatan harus disadarkan bahwa mereka memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga warisan ekologis ini.

Sekolah-sekolah bisa menjadikan tempalak mirah sebagai ikon pembelajaran lintas disiplin, biologi, budaya lokal, dan kewarganegaraan. Museum mini atau galeri konservasi berbasis sekolah pun dapat dibangun sebagai pusat edukasi dan kebanggaan lokal.

Baca juga: BRIN temukan spesies ikan gua buta baru dari Jawa Barat

Hal yang juga tak kalah penting adalah transparansi dalam pelaksanaan proyek-proyek pembangunan yang berpotensi merusak habitat. Masyarakat harus dilibatkan secara penuh dalam proses konsultasi dan pengambilan keputusan.

Sudah saatnya pembangunan tidak hanya berorientasi pada keuntungan jangka pendek, tetapi juga mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Prinsip kehati-hatian harus menjadi fondasi setiap kebijakan pembangunan di wilayah yang memiliki kekayaan hayati tinggi seperti Bangka Selatan.

Dalam konteks yang lebih luas, tempalak mirah dapat dijadikan simbol perjuangan ekologi Bangka Belitung. Sebuah ikon yang membungkus semangat pelestarian lingkungan, kebanggaan identitas lokal, dan cita-cita pembangunan berkelanjutan.

Dengan begitu, ketika masyarakat menyebut nama tempalak mirah, yang terbayang bukan hanya seekor ikan kecil, tetapi juga harapan, tanggung jawab, dan kecintaan terhadap tanah kelahiran.

Akhirnya, pelestarian tempalak mirah bukan hanya tentang menyelamatkan satu spesies ikan dari kepunahan. Ia adalah langkah awal untuk merajut kembali harmoni antara manusia dan alam.

Maka, ketika Kanwil Kementerian Hukum Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mencatatkan tempalak mirah sebagai Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) terlihatlah ada langkah awal menjaga kelestarian ikan hias khas daerah itu.

KIK sangat terkait dengan ekoturisme, pariwisata, ekonomi kreatif dan kebudayaan sehingga peran pemerintah daerah sangat besar untuk pemanfaatan KIK. Oleh karena itu, mencatatkan KIK ini menjadi sangat penting, karena bukan hanya untuk tujuan pelestarian akan tetapi juga sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak masyarakat adat atas Kekayaan Intelektual mereka tersebut.

Langkah nyata lain penyelamatan muncul ketika Ketua Tim Balai Riset Perikanan Perairan Umum dan Penyuluhan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Arif Wibowo mengembangkan budi daya ikan hias lokal di lahan bekas penambangan bijih timah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Lahan bekas tambang menyimpan potensi sebagai tempat habitat hidup ikan hias lokal seperti tempalak mirah, sepat mata merah, cupang endemik lokal, silincah belontia hasselti dan ikan hias lainnya.

Ikan-ikan itu dikembangkan di 887 kolong (bekas lahan tambang) dengan luas 1.712 hektare, tersebar di Kota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka, Bangka Barat, Bangka Tengah, Bangka Selatan, Belitung dan Belitung Timur.

Tentu saja masih banyak langkah nyata lain yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan tempalak mirah dari ancaman kepunahan ketika sejumlah pihak terkait sudah memiliki visi yang sama.

Baca juga: Pemprov DKI tebar 10 ribu benih ikan endemik di Waduk Citra 8

Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |