Jakarta (ANTARA) - Dalam dunia kerja yang dinamis dan penuh disrupsi, banyak karyawan mendambakan kepastian dan rasa percaya diri. Namun, semakin tinggi posisi atau semakin kompleks tantangan yang dihadapi, semakin besar pula ruang ketidakpastian.
Paradoksnya, rasa "bodoh" merasa tidak tahu atau kurang kompeten bukanlah tanda kelemahan, melainkan indikator bahwa kita sedang berada di jalur pertumbuhan.
Beberapa waktu lalu, seorang teman lama yang kini menjabat sebagai posisi kunci di organisasi lingkungan internasional bercerita bahwa ia meninggalkan jalur profesional karena setiap hari merasa bodoh. Cerita tersebut memicu refleksi mendalam bagi saya: dalam dunia profesional pun, rasa ketidaktahuan adalah bagian tak terpisahkan dari proses inovasi dan pengembangan diri.
Kebodohan Produktif
Merasa bodoh bukan berarti kita tidak kompeten. Sebaliknya, itu berarti kita sedang berada di wilayah baru, tempat di mana inovasi terjadi. Jika kita selalu tahu jawabannya, kita tidak sedang belajar atau berkembang. Dalam pekerjaan, "kebodohan produktif" adalah kondisi sadar bahwa kita tidak tahu, tetapi tetap berusaha mencari tahu.
Contoh nyata: seorang manajer yang mencoba strategi digital baru mungkin gagal beberapa kali sebelum menemukan formula yang tepat; Tim pengembangan produk mungkin mengulang prototipe berkali-kali sebelum menemukan solusi yang sesuai kebutuhan pelanggan.
Setiap kegagalan bukan tanda kelemahan, melainkan bagian dari proses belajar.
Paul E. Spector, pakar psikologi organisasi, menegaskan: "I‑O psychologists often don’t have ready‑made answers, but rather they have the means of finding answers."
Kutipan ini menyoroti esensi inovasi: kita tidak memulai dari jawaban, melainkan dari keinginan untuk menemukannya. Inilah yang disebut kebodohan produktif —kondisi sadar akan ketidaktahuan, tapi tetap aktif belajar dan bereksperimen.
Studi terbaru dalam Review of Public Personnel Administration (2024) menunjukkan bahwa rasa cognitive uncertainty (ketidaktahuan sadar) dapat mendorong inovasi harian jika didukung oleh kepemimpinan ambidextrous, pemimpin yang mampu menyeimbangkan eksplorasi ide dan eksekusi strategi. Artinya, rasa bodoh tidak bisa dibiarkan sendiri; perlu dukungan budaya dan kepemimpinan yang menerima ketidakpastian dan mendorong eksplorasi.
Survei Psychology Today pada April 2025 menemukan bahwa 65% karyawan menghadapi lebih banyak perubahan di tempat kerja dibanding tahun sebelumnya. Satu dari tiga orang mengalami empat atau lebih perubahan besar dalam setahun terakhir.
Situasi ini menandakan bahwa ketidakpastian bukan pengecualian, melainkan norma. Mereka yang mampu mengelola rasa “tidak tahu” akan lebih siap menghadapi perubahan dan menciptakan nilai.
Baca juga: Mendiktisaintek: Inovasi adalah kunci Indonesia maju
Baca juga: Kepala BRIN: Pendidikan dan riset jadi kunci atasi tantangan global
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































