Masa kanak-kanak di era AI: antara harapan dan ancaman

4 days ago 5
Pertanyaannya: apakah kita akan membiarkan AI menentukan masa kanak-kanak, atau kita membentuk AI agar menghormati masa kanak-kanak?

Jakarta (ANTARA) - Laporan terbaru The Economist mengangkat satu pertanyaan penting: apa yang terjadi pada masa kanak-kanak ketika kecerdasan buatan (AI) hadir dalam setiap detik kehidupan anak di rumah, di sekolah, bahkan dalam permainan?

Pertanyaan ini bukan spekulasi futuristik. Di Indonesia, anak belajar menggunakan gawai sejak usia dini, sekolah mulai mencoba platform pembelajaran adaptif, dan orangtua memanfaatkan asisten digital untuk menemani anak bertanya, bercerita, hingga mengatur rutinitas. Masa kanak-kanak, sebagaimana diperingatkan The Economist, sedang “diredefinisi ulang” oleh teknologi —dengan peluang besar, tetapi juga ancaman yang tak boleh disepelekan.

Harapan besar AI dalam pendidikan memang menggoda. Sistem pembelajaran adaptif dapat memberikan latihan sesuai kemampuan tiap siswa, memantau kemajuan secara real time, dan membantu guru mengidentifikasi kesulitan belajar jauh lebih cepat.

Guru yang masih dibebani administratif dapat terbantu oleh AI untuk membuat rubrik penilaian, menyusun bahan ajar diferensiatif, dan memberikan umpan balik awal.

Dalam konteks rumah, model generatif memungkinkan anak menggambar, mencipta cerita, atau merancang karakter permainan tanpa hambatan teknis. AI memberi “skala baru” pada personalisasi belajar yang sebelumnya hanya mungkin bagi keluarga kaya atau siswa beruntung.

Ancaman Serius

Namun, di balik peluang tersebut tersembunyi ancaman serius.

Pertama, ancaman terhadap privasi dan keamanan data anak. Banyak aplikasi edukasi dan mainan pintar mengumpulkan data: suara, ekspresi wajah, riwayat pertanyaan, bahkan preferensi emosional. Data ini menjadi komoditas bernilai bagi perusahaan, sehingga risiko komersialisasi masa kanak-kanak tidak bisa dihindari.

Kedua, ancaman terhadap perkembangan emosi dan kognisi. Ketika anak terbiasa memperoleh jawaban instan, proses investigasi, kebingungan, dan trial-and-error —unsur penting perkembangan intelektual— dapat hilang. Lebih berbahaya lagi, hubungan sosial dapat tergantikan oleh interaksi dengan AI yang selalu patuh, tidak menuntut kompromi, dan tidak pernah marah.

Padahal seperti diingatkan psikolog perkembangan Alison Gopnik, “anak belajar tentang dunia melalui resistensi”; melalui pengalaman ditolak, dinegosiasikan, dan diasah oleh interaksi nyata. AI yang terlalu “menyenangkan” justru berpotensi mempersempit pengalaman sosial itu.

Baca juga: Redea Institute ajak orang tua pahami peluang dan risiko AI bagi anak

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |