Kemenag gelar muktamar moderasi beragama-ekoteologi pesantren

19 hours ago 8
Perlu pergeseran pemaknaan khalifah di muka bumi, di mana manusia harus sejajar dengan bumi dalam aspek peran dan tanggung jawab

Jakarta (ANTARA) - Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Agama (BMBPSDM Kemenag) menyelenggarakan muktamar sebagai ikhtiar menggali pemaknaan, peran, dan rekomendasi ulama muda dalam isu moderasi beragama dan ekoteologi.

Dalam rilis yang disiarkan di Jakarta pada Sabtu, kegiatan bertajuk Muktamar Pemikiran Ulama Muda untuk Moderasi Beragama dan Eko-Teologi tersebut digelar pada tanggal 12-13 November 2025, dengan mengusung tema “Teologi Kerukunan Kosmik: Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam”.

Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Marhumah menegaskan perlunya pergeseran paradigma dalam memahami konsep manusia sebagai khalifah di bumi.

Menurutnya, tafsir antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat dan penguasa alam harus dikritisi.

“Perlu pergeseran pemaknaan khalifah di muka bumi, di mana manusia harus sejajar dengan bumi dalam aspek peran dan tanggung jawab,” ujarnya.

Ia juga menekankan alam semesta harus dipahami sebagai makhluk hidup karena seluruh ciptaan Tuhan memiliki nilai kehidupan.

Dalam konteks ini, ia mengatakan pesantren dinilai strategis untuk mengubah cara pandang relasi Tuhan, manusia, dan alam, bahkan mendorong agar hifdzul biah (menjaga lingkungan) ditambahkan sebagai tujuan baru dalam maqashid syariah.

Baca juga: Menag ingatkan pentingnya menjaga kerukunan antara manusia dan alam

Sementara itu, Guru Besar BRIN Alie Humaidi menyampaikan kritik tajam terhadap realitas ekologis Indonesia, khususnya bencana di Sumatra yang menurutnya merupakan cermin kerakusan manusia.

“Bencana alam di Sumatera adalah potret kerusakan lingkungan akibat kerakusan manusia, terutama korporasi yang mengatasnamakan kebutuhan manusia,” katanya.

Ia menilai umat beragama hari ini mengalami krisis praksis ekologis.

“Umat beriman hanya mengejar kepuasan spiritual-ritual, tetapi tidak mempunyai aspek ekologi. Beragama tanpa jejak ekologi,” tegasnya.

Bahkan, ia menyimpulkan secara reflektif agamawan gagal dalam melestarikan lingkungan meskipun ajaran tentang lingkungan sangat banyak.

Alie juga menyoroti peran pesantren yang secara historis dekat dengan alam.

Ia mengingatkan bahwa pesantren dahulu hidup berdampingan dengan sungai, hutan, dan persawahan, serta memiliki kearifan lokal dalam menjaga lingkungan.

“Banyak pesantren mampu mendorong kelestarian lingkungan, tetapi pertanyaannya, berapa banyak pesantren yang punya skenario pendidikan lingkungan bagi santrinya?” ujarnya.

Dari perspektif fikih dan teologi Islam, KH. Moqsith Gazali dari MUI mengingatkan bahwa manusia dan alam memiliki hubungan ontologis yang sangat erat.

“Dalam Al-Qur’an, manusia diciptakan dari elemen bumi. Artinya manusia bersaudara dengan alam semesta,” katanya.

Baca juga: Pesantren didorong jadi pelopor gerakan ekoteologi nasional

Ia menjelaskan meskipun manusia memiliki fungsi eksploitasi, Al-Qur’an juga menegaskan tugas konservasi (imarah). Namun begitu, yang terjadi justru ketimpangan.

“Manusia lebih ingat fungsi eksploitasi daripada fungsi konservasi,” ujarnya.

KH. Moqsith juga menyoroti keterbatasan hukum Islam kontemporer dalam merespons krisis lingkungan.

Menurutnya, kerusakan hari ini bukan lagi dilakukan individu, melainkan oleh korporasi dan bahkan negara.

“Pandangan hukum kita masih menempatkan manusia sebagai satu-satunya objek hukum. Padahal kerusakan lingkungan dilakukan oleh persekutuan manusia, dan ini belum memiliki rujukan fikih yang memadai,” ujarnya.

Karena itu, ia mendorong perluasan tujuan syariat agar isu lingkungan mendapat posisi yang lebih kuat dalam bangunan hukum Islam.

Muktamar hari itu menegaskan satu pesan kunci, yakni agama, pesantren, dan ulama muda tidak cukup hanya berbicara keselamatan spiritual, tetapi juga dituntut hadir dalam upaya penyelamatan bumi sebagai amanah teologis dan tanggung jawab kemanusiaan.

Baca juga: Kemenag ungkap potensi dampak implementasi ekoteologi bagi lingkungan

Baca juga: Menag ingatkan soal ekoteologi untuk cegah bencana alam

Pewarta: Hana Dewi Kinarina Kaban
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |