Jakarta (ANTARA) - Menjelang Hari Raya Iduladha, umat Islam di seluruh dunia bersiap melaksanakan ibadah kurban sebagai bentuk ketaatan dan pengorbanan kepada Allah SWT. Ibadah ini merupakan salah satu amalan penting yang mengandung nilai spiritual dan sosial, di mana hewan kurban disembelih sebagai simbol ketaatan kepada perintah Allah dan kepedulian terhadap sesama.
Namun, muncul pertanyaan di kalangan masyarakat mengenai hukum menjual daging hewan kurban menurut syariat Islam. Para ulama sepakat bahwa terdapat perbedaan hukum antara pihak yang berkurban dan penerima daging kurban terkait penjualan daging tersebut, sehingga penting untuk memahami batasan dan ketentuan yang berlaku agar ibadah kurban tetap sah dan diterima.
Larangan menjual daging kurban bagi shohibul kurban
Dalam Islam, shohibul kurban dilarang menjual bagian apa pun dari hewan kurban yang telah disembelih, termasuk daging, kulit, kepala, dan bagian lainnya. Larangan ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib RA:
"Rasulullah SAW memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta kurban beliau. Aku menyedekahkan dagingnya, kulitnya, dan pakaiannya (jika ada). Dan beliau memerintahkanku agar aku tidak memberikan sedikit pun dari hewan kurban kepada tukang jagal (sebagai upah)." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa seluruh bagian hewan kurban harus disedekahkan atau dibagikan, bukan dijual atau dijadikan upah. Tujuan utama dari ibadah kurban adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT dan membantu sesama, bukan untuk mencari keuntungan materi.
Baca juga: Idul Adha 2025: Panduan pembagian daging kurban sesuai syariat Islam
Kebolehan menjual daging kurban bagi penerima
Berbeda dengan shohibul kurban, penerima daging kurban, terutama yang tergolong fakir miskin, diperbolehkan menjual daging tersebut jika ada kebutuhan mendesak. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa penerima memiliki hak penuh atas daging yang diberikan, sehingga tidak ada larangan dalam memanfaatkannya sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka.
Setelah menerima daging kurban, hak kepemilikan secara sah berpindah kepada penerima. Oleh karena itu, mereka bebas menggunakan atau menjualnya untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti membeli obat, makanan, atau kebutuhan penting lainnya yang mendesak, selama penjualan dilakukan bukan untuk tujuan komersial atau mencari keuntungan pribadi.
Panduan bagi panitia kurban
Panitia kurban yang bertugas menyembelih dan mendistribusikan hewan kurban juga tidak diperbolehkan menjual bagian apa pun dari hewan kurban untuk menutupi biaya operasional atau sebagai upah. Dalam syariat Islam, seluruh bagian hewan kurban, termasuk kulit dan tulangnya, tidak boleh diperjualbelikan oleh pihak panitia sebagai bentuk kompensasi atas jasa mereka.
Biaya operasional sebaiknya ditanggung oleh shohibul kurban atau melalui dana khusus yang disiapkan sebelumnya. Ketentuan ini bertujuan untuk menjaga keikhlasan dan kemurnian ibadah kurban, serta menghindari praktik yang dapat mencederai nilai ibadah tersebut sesuai tuntunan agama.
Dapat disimpulkan, menjual daging hewan kurban oleh shohibul kurban dilarang dalam Islam karena bertentangan dengan tujuan ibadah kurban itu sendiri, yakni sebagai bentuk ketulusan dan pengorbanan kepada Allah SWT. Namun, bagi penerima daging kurban yang membutuhkan, diperbolehkan menjual daging tersebut untuk memenuhi kebutuhan mendesak, seperti membeli obat atau kebutuhan pokok lainnya.
Panitia kurban juga diharuskan menjaga amanah dengan tidak menjual bagian dari hewan kurban dan memastikan distribusi dilakukan sesuai syariat Islam. Dengan memahami dan mematuhi ketentuan ini, diharapkan ibadah kurban dapat dilaksanakan dengan benar, penuh keikhlasan, dan memperoleh keberkahan dari Allah SWT.
Baca juga: Golongan yang berhak menerima daging kurban menurut syariat Islam
Baca juga: Panduan lengkap simpan daging kurban dengan benar agar tahan lama
Pewarta: M. Hilal Eka Saputra Harahap
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025