Semarang (ANTARA) - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengingatkan kepada masyarakat, terutama generasi muda, untuk mewaspadai penyebaran paham ekstremisme dan terorisme melalui ruang digital yang masif.
"Kita bisa melihat OutlooK 2024 yang lebih menyasar ancaman dalam ruang digital. Jadi, dapat kita lihat berbagai aspek bagaimana pemuda harus diantisipasi pencegahan terorisme dan ekstremisme dalam ruang digital," kata Analis Kebijakan Ahli Muda/Subkoordinator Kerja Sama Non-Pemerintah BNPT Alfroda Heanitu Panjaitan di Semarang, Selasa (3/6).
Hal tersebut disampaikannya di sela Pemutaran Film Dokumenter berjudul Road to Resilience dan Bedah Buku berjudul Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah.
Menurut dia, secara perbandingan antara jumlah penduduk Indonesia dan pengguna internet juga sangat tinggi yang mengartikan besarnya pengaruh ruang digital bagi masyarakat.
Sebagai implementasi nyata Roadmap Komunikasi Strategis dalam Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE), BNPT bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menyelenggarakan kegiatan seperti pemutaran film tersebut.
Pakar dan pegiat antiterorisme Dr. Noor Huda Ismail mengingatkan bahwa BNPT telah melihat pergeseran tren penyebaran paham terorisme dan diidentifikasi dalam outlook tahun lalu.
"Menurut saya, bentuknya ke depan akan ke sana dan makin menguat. Narasi yang kami dorong tidak hanya radikalisasi, agama, tetapi juga karakter," katanya.
Oleh karena itu, seluruh pihak perlu bekerja sama, misalnya dinas pendidikan yang akan mengawal penanaman karakter, kemudian Kementerian Komunikasi dan Digital terkait dengan literasi digital.
Baca juga: BNPT: Australia mitra kuat ASEAN tanggulangi kejahatan transnasional
Baca juga: BNPT: Pemantauan kolektif mitra deradikalisasi kunci cegah terorisme
"Aparat keamanan pun sudah menyadari bahwa pendekatan lama, jadul yang nginteli, nangkepi, penjara doang enggak cukup sekarang. Kalau dahulu organisasi kelas, hanya satu JI (Jamaah Islamiyah)," katanya.
Dahulu, kata dia, mereka yang terjebak paham terorisme bisa dengan mudah diidentifikasi dari kelompok masyarakat tertentu. Akan tetapi, belakangan cenderung acak dan bisa siapa saja, mulai ibu rumah tangga, anak kampus, hingga orang kaya.
"Kalau fokus pada pendekatan lama, yang ceramah banget. Lo mereka ini belajar ilmu di TikTok, hanya berapa byte, tidak belajar lama. Itulah sebabnya saya kira langkah ke depan lebih ke aspek digital," kata Direktur Yayasan Prasasti Perdamaian itu
Film dokumenter yang diputar menceritakan tentang kisah warga negara Indonesia (WNI) bernama Febri Ramdani yang berangkat ke Syuriah menyusul sang ibunda dan kakaknya pada tahun 2016.
Namun, kenyataan yang dihadapinya setiba di Suriah sangat berbeda dengan informasi yang selama ini tersaji di ruang digital, termasuk propaganda dari ISIS sehingga langsung menyadarkannya.
"Intinya saya tertipu. Saya ke sana hanya karena ingin bertemu ibu. Namun, ternyata propaganda yang saya lihat di media sosial sangat bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan," katanya.
Meski demikian, diakui Febri bahwa tidak mudah untuk melepaskan diri dan pulang ke Tanah Air, baik karena persoalan yang mereka hadapi di negara tersebut maupun stigma masyarakat di negara asal.
Dalam film itu, diceritakan bagaimana dinamika yang dihadapi Febri sekeluarga yang dengan sudah payah akhirnya bisa pulang ke Indonesia, dan bagaimana menghadapi tantangan sepulangnya ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2025