Jakarta (ANTARA) - Film "Nyanyi Sunyi Dalam Rantang" menjadi judul terbaru garapan sutradara kawakan Garin Nugroho yang hadir bukan sekadar sebagai tontonan sinematik, melainkan juga sebuah kritik sosial terhadap arah penegakan hukum di Indonesia
Film hasil kolaborasi Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK), Garin Workshop, dan Padi Padi Pictures merepresentasikan kesenjangan, di mana sistem seakan menjadikannya pedang bermata dua; tumpul ke atas, namun bertaring ke bawah.
Empat kisah pilu coba dihadirkan film ini dan semuanya terinspirasi dari kisah nyata. Kisah-kisah itu dengan gamblang memperlihatkan betapa mudahnya penegak hukum menyasar masyarakat awam yang minim pemahaman, sebuah ironi yang semakin terasa getir mengingat film kesebelas Garin itu turut berpartisipasi dalam International Film Festival Rotterdam (IFFR) 2024 di Belanda.
Sejak detik-detik awal "Nyanyi Sunyi Dalam Rantang" bergulir, penonton sudah disuguhkan potret buram ketidakberdayaan masyarakat awam di hadapan hukum. Sebagian besar tokoh dalam film ini digambarkan memiliki keterbatasan pemahaman akan seluk-beluk hukum, sebuah celah yang dengan mudah dimanfaatkan untuk upaya kriminalisasi terhadap serangkaian tindakan "wajar" mereka.
Jalan cerita
Film itu mengawali dari kisah Tuminah, yang diperankan dengan apik oleh seniman ketoprak senior Minten. Ia menjadi pembuka yang menyesakkan karena didakwa dengan hukuman satu tahun penjara setelah mengambil dua butir kakao yang jatuh di tanah perkebunan tanpa izin dari korporasi pemilik lahan.
Tuminah adalah representasi ketidakadilan yang telanjang. Kakao tersebut bahkan bukan untuk diperjualbelikan, melainkan hanya dijemur di "balai-balai" rumahnya, dan menurut pengakuannya, siapa pun dipersilakan mengambilnya secara cuma-cuma.
Air mata Tuminah yang tumpah saat gelar perkara di lokasi kejadian maupun saat vonis di pengadilan seolah menjadi simbol teriakan bisu rakyat kecil yang tak berdaya. Namun, aparat penegak hukum tetap bergeming, memaksa Tuminah mendekam di balik jeruji besi, mengabaikan penolakan keras dari warga sekitar.
Ironi semakin mencuat ketika terungkap bahwa korporasi pemilik perkebunan kakao ternyata mengincar lahan rumah Tuminah.
Penolakan tegas Tuminah dan suaminya untuk menjual tanah warisan mereka, berapa pun harganya, memicu siasat jahat.
Pihak "jahat" mungkin melihat celah untuk menjerat Tuminah melalui tuduhan pencurian saat mengamati proses penjemuran "kakao tak bertuan" di rumahnya.
Kisah Tuminah dalam film ini agak mirip dengan kasus Nenek Minah di Banyumas pada 2009, sebuah tragedi hukum yang mengusik rasa keadilan banyak pihak ketika seorang buruh perempuan lanjut usia dihukum penjara hanya karena memungut tiga butir kakao yang telah jatuh dari pohon di perkebunan tempatnya bekerja. Dugaan kongkalikong antara korporasi dan penegak hukum juga menjadi benang merah yang kuat dalam narasi film ini.
Selanjutnya, penonton diperkenalkan pada karakter Pak Kirman, yang diperankan dengan meyakinkan oleh Agus Becak. Kisahnya terinspirasi dari kasus Tukirin di Nganjuk pada 2008, seorang petani inovatif yang berhasil mengembangkan benih jagung hibrida di lahannya sendiri, namun justru berujung pada kriminalisasi atas nama hak paten korporasi. Kasus ini menjadi potret buram lain dari disparitas hukum, di mana penegakan hukum justru digunakan untuk melindungi kepentingan bisnis raksasa, namun mematikan semangat inovasi dan kedaulatan pangan di tingkat petani kecil.
Film kemudian beralih ke kisah Krisna, seorang aktivis muda yang diperankan oleh Alex Suhendra. Karakternya terinspirasi dari keberanian Daniel Frits di Jawa Tengah, yang berhadapan dengan jerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) hanya karena menyuarakan kebenaran tentang dampak lingkungan dari tambak udang ilegal melalui tulisan-tulisannya di media sosial.
Tuduhan pencemaran nama baik kelompok masyarakat yang diuntungkan oleh bisnis haram tersebut menjadi "tamparan keras" bagi kebebasan berpendapat dan pengingat bahwa hukum dapat dengan mudah menjadi "senjata" untuk membungkam suara-suara kritis yang berani mengungkap kebenaran, seperti yang terjadi pada 2024 itu.
Kisah terakhir yang dihadirkan film "Nyanyi Sunyi Dalam Rantang" adalah pilunya hidup seorang tetua adat yang diperankan oleh Fajar Suharno. Perjuangan tokoh tersebut agak mirip dengan perjuangan Sorbatua Siallagan di Sumatera Utara, seorang penjaga hutan adat yang dituduh menduduki lahan negara. Di mana, tragedi perampasan hak komunal masyarakat adat itu menjadi ironi yang memprihatinkan, mengingat betapa vitalnya hutan bagi keberlangsungan hidup dan pengelolaan wilayah adat yang lestari.
Di tengah labirin ketidakadilan yang suram ini, muncul sosok Puspa, seorang pengacara muda idealis yang diperankan oleh aktris Della Dartyan.
Puspa menjadi benang merah yang menghubungkan keempat kisah tragis ini.
Sebagai saudara perempuan Krisna, perjuangannya bukan hanya sekadar panggilan profesional, melainkan juga personal, didorong oleh ikatan keluarga yang kuat.
Melalui tatapan matanya yang penuh kepedihan namun menyimpan bara perlawanan, Della berhasil menyampaikan beban berat seorang idealis yang berhadapan langsung dengan sistem yang korup dan bias.
Dalam film, Della juga menangani tiga kasus disparitas hukum lainnya sebagai pembela keadilan yang tak berdaya. Aktingnya yang halus namun bertenaga di awal, perlahan menunjukkan kehancuran emosi saat babak belur dalam serangkaian persidangan yang gagal dimenangkan.
Sang pengacara muda hanya bisa rutin membawakan rantang merah, simbol harapan yang rapuh, setiap kali sistem yang korup berhasil memenjarakan kliennya.
Akhir film ditutup dengan adegan Puspa yang duduk terdiam dan tertidur di dalam bus kecil tua, tatapannya kosong. Namun, di tengah kesunyian itu, seorang anak kecil mengantarkan rantang merah milik Puspa yang tertinggal. Puspa pun memeluk rantang itu sambil tersenyum tipis, sebuah akhir yang ambigu namun menyiratkan secercah harapan yang mungkin akan terus diperjuangkan.
Pendekatan terhadap visual cerita
Garin Nugroho menggunakan pendekatan "arthouse" yang kaya akan simbolisasi untuk menyampaikan pesan film ini secara tajam.
Berbeda dari film drama atau dokumenter konvensional, "Nyanyi Sunyi Dalam Rantang" lebih banyak mengeksplorasi kekuatan visual dan keheningan yang bermakna untuk menyampaikan pesan yang lebih mendalam daripada sekadar dialog.
Keahlian sinematografi Mandella Pracihara juga memperkuat jeda-jeda hening yang sarat makna itu, mencapai puncaknya pada dua adegan yang brilian berkat gaya penyuntingan Andhy Pulung yang dengan sengaja menciptakan disorientasi untuk membangun atmosfer dramatis dan membingungkan pada kedua adegan tersebut.
Di adegan pertama, Puspa mengamati dari jarak jauh istri Kirman mengonsumsi jagung dari lahan yang telah dibebaskan. Puspa terperanjat melihat mulut Ibu Kirman penuh dengan tanah dan jagung yang dipungutnya dari lahan, sementara wanita tersebut menangis pilu karena ternyata suaminya menolak makanan apa pun di penjara selain jagung hasil pertanian mereka sendiri. Tapi semuanya tidak ada yang layak dimakan, membuat Bu Kirman frustrasi.
Peristiwa tersebut terus menghantui Puspa, menimbulkan dampak yang mendalam dan membuatnya mesti berupaya keras untuk melupakan kenangan traumatis tersebut.
Pada adegan kedua, terlihat seorang tetua adat tengah menggali lubang sendirian di tengah hutan yang telah dirampas, diterangi sinar matahari yang indah bagai pancaran surgawi. Sejurus kemudian, Puspa tiba di lokasi, namun hanya gundukan tanah yang tersisa, tanpa jejak keberadaan siapa pun di sana.
Melalui pendekatan "arthouse" yang unik dan berdampak, Garin Nugroho mengajak setiap penonton untuk tidak hanya duduk dan menyaksikan, tetapi juga merasakan, merenungkan, dan yang terpenting, mempertanyakan: keadilan macam apa yang sebenarnya sedang ditegakkan di negeri ini?
Penggunaan lagu dangdut Jawa berjudul "Jarene" sebagai musik latar juga menjadi elemen unik yang memperkaya film ini, memberikan sentuhan "mendadak dangdut", seolah menginspirasi Puspa untuk menari saat dihadapkan pada ketidakberdayaan. Musik dangdutnya merdu di telinga, tapi Puspa lagi berduka, semakin kelihatan ketidakadilannya.
Secara keseluruhan, film "Nyanyi Sunyi Dalam Rantang" menghibur dengan cara yang tidak biasa. Akhir ceritanya menyiratkan panggilan untuk membangkitkan keprihatinan kita semua dan mendorong penonton untuk bersama-sama mendiskusikan sikap, selanjutnya mau apa untuk memutus segala bentuk ketidakadilan yang pernah terjadi dulu.
Sebagai bagian dari perayaan Hari Antikorupsi Sedunia, penayangan film ini sudah dirilis di bioskop pada 9 Desember 2024 dan 9 Mei 2025 sebagai momentum penting untuk merenungkan dan bertindak demi tegaknya keadilan di Indonesia.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2025