Ketika sekolah tak lagi jadi rumah kedua

21 hours ago 3
Sekolah harus kembali menjadi tempat yang tenang untuk belajar. Tempat ibadah harus kembali menjadi tempat suci. Lapangan harus kembali menjadi tempat berkumpul dan bermain yang ceria

Jakarta (ANTARA) - Dua tragedi dalam rentang dua bulan terakhir di Jakarta telah menghancurkan satu hal yang paling fundamental dalam dunia pendidikan: rasa aman di lingkungan sekolah. Siswa SDN Kalibaru 01 tertabrak mobil saat kegiatan literasi pagi, sementara siswa SMAN 72 menjadi korban ledakan bom, ketika melaksanakan Shalat Jumat. Pertanyaan krusial yang muncul bukan hanya menyangkut aspek keamanan fisik semata, melainkan bagaimana memulihkan kondisi psikologis anak-anak yang mengalami trauma mendalam.

Dalam konsep pendidikan ideal, sekolah seharusnya menjadi rumah kedua bagi peserta didik. Tempat di mana mereka merasa aman untuk bermain, belajar, dan mengembangkan potensi diri. Namun bayangkan bila dalam sekejap, tempat yang seharusnya menjadi zona aman, justru berubah menjadi sumber ketakutan. Realitas inilah yang harus dihadapi ratusan atau bahkan ribuan siswa di Jakarta, akhir-akhir ini.

Dua kejadian dengan konteks berbeda, namun memunculkan satu pertanyaan mendasar yang sama: ke mana anak-anak (para siswa) ini dapat mencari perlindungan ketika tempat yang seharusnya paling aman kedua, setelah rumah justru menjadi sumber trauma psikologis?

Luka psikis

Berbeda dengan luka fisik yang dapat dengan mudah diidentifikasi dan ditangani secara medis, luka psikis bekerja dengan cara yang jauh lebih tersembunyi dan kompleks. Para siswa yang selamat dari kedua tragedi tersebut mungkin telah kembali ke sekolah dengan kondisi fisik yang pulih.

Akan tetapi di dalam alam pikiran mereka, kejadian traumatis tersebut terus berulang, tanpa henti. Ledakan masih bergema. Mobil masih melaju dengan kecepatan mengerikan. Suara-suara kepanikan masih terdengar jelas.

Trauma yang dialami siswa SDN Kalibaru 01 bersumber dari ancaman eksternal, sesuatu yang asing dan sama sekali tidak terduga dalam rutinitas mereka. Manifestasinya, biasanya dapat terlihat dalam berbagai gejala: ketakutan berlebihan terhadap suara kendaraan, penolakan untuk berangkat ke sekolah, tangisan spontan, tanpa pemicu yang jelas. Mereka telah kehilangan kepercayaan fundamental bahwa dunia luar adalah tempat yang dapat diprediksi dan aman.

Sementara itu, trauma yang dialami siswa SMAN 72 memiliki dimensi psikis yang jauh lebih kompleks dan mendalam. Ini bukan semata-mata persoalan hilangnya rasa aman fisik, melainkan runtuhnya kepercayaan interpersonal terhadap sesama.

Pelaku merupakan bagian dari komunitas mereka. Artinya, seseorang yang mungkin pernah duduk berdampingan di kelas, berbagi makanan di kantin, atau sekadar berpapasan setiap hari. Pertanyaan yang terus menghantui adalah: bagaimana membangun kembali kepercayaan, setelah pengalaman ini? Siapa yang dapat dipercaya dan siapa yang mungkin menyimpan potensi bahaya di balik interaksi sehari-hari?

Fenomena ini dalam literatur psikologi disebut trauma akibat pengkhianatan kepercayaan, sebuah kondisi yang merusak ikatan sosial yang menjadi fondasi penting dalam perkembangan psikososial remaja. Luka jenis ini memerlukan pendekatan terapeutik khusus karena tidak akan sembuh dengan sendirinya.

Verbal konvensional

Dalam praktik konseling konvensional, kita sering mendengar anjuran: "Ceritakan saja apa yang kamu rasakan." Pertanyaan kritisnya adalah: bagaimana jika ekspresi verbal tidak memadai untuk mengungkapkan kompleksitas trauma? Bagaimana jika setiap upaya untuk mengungkapkan pengalaman traumatis justru memicu kembalinya ingatan yang mengerikan, menyebabkan sesak napas, dan pada akhirnya memaksa siswa untuk kembali membisu karena intensitas rasa sakit yang tak tertahankan?

Pada titik inilah hipnoterapi menawarkan paradigma alternatif yang berbeda. Trauma psikis tidak seluruhnya tersimpan di tingkat kesadaran kognitif. Sebagian besar justru tersimpan di pikiran bawah sadar. Lapisan psikis di mana kenangan-kenangan yang terlalu menyakitkan untuk diproses secara sadar disimpan sebagai mekanisme pertahanan diri.

Hipnoterapi dapat dipahami sebagai metode untuk mengakses pikiran bawah sadar tersebut untuk mencapai resolusi terapeutik, tanpa mengharuskan siswa untuk mengungkapkan detail traumatis secara verbal berulang kali. Terdapat beberapa keunggulan signifikan dari pendekatan ini.

Pertama, efisiensi waktu dalam proses terapeutik. Hipnoterapi, berdasarkan berbagai studi kasus, sering kali menunjukkan perubahan bermakna dalam beberapa sesi terapi. Aspek ini sangat krusial bagi anak-anak dan remaja yang memerlukan pemulihan segera agar tidak mengalami gangguan dalam perkembangan akademis dan interaksi sosial mereka.

Kedua, meminimalkan risiko re-traumatisasi. Dalam pendekatan terapi konvensional, siswa diharuskan untuk menceritakan pengalaman traumatis dengan detail yang lengkap. Sayangnya proses ini secara fenomenologis dapat terasa seperti mengalami kembali kejadian tersebut. Hipnoterapi memungkinkan pemprosesan ulang memori traumatis, tanpa mengharuskan klien mengalaminya kembali dengan intensitas emosional yang sama.

Ketiga, efektivitas dalam menangani manifestasi somatik dari trauma. Seringkali siswa yang mengalami trauma psikis menunjukkan gejala-gejala fisik, seperti sakit kepala kronis, gangguan pencernaan, insomnia, dan palpitasi jantung. Hipnoterapi dapat mengakses dan memodulasi koneksi psikosomatik antara pikiran dan tubuh, sehingga mampu meredakan gejala-gejala fisik yang dipicu oleh kondisi psikis.

Keempat, membangun rasa aman dari dalam diri. Melalui teknik-teknik hipnoterapi, hipnoterapis profesional yang telah bersertifikasi dan diakui negara (BNSP RI) dapat membantu siswa membangun "tempat aman" di dalam pikiran mereka (sebuah ruang mental yang dapat mereka kunjungi kapan pun merasa terancam atau cemas).

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |