Jakarta (ANTARA) - Baru-baru ini, sebuah angin optimisme berhembus kencang dari Beijing, membelah kabut pesimisme ekonomi global yang tengah menyelimuti banyak negara.
Seperti dilansir dari South China Morning Post (SCMP), ekonom terkemuka sekaligus mantan Kepala Ekonom Bank Dunia, Justin Lin Yifu, melontarkan prediksi yang berani: China mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi 5 hingga 6 persen per tahun hingga 2035.
Pernyataan ini bukan sekadar retorika kosong untuk menenangkan pasar, melainkan sebuah kalkulasi matematis yang berpijak pada satu variabel kunci yang sering luput dari pandangan Barat, yaitu ledakan kualitas modal manusia dalam Revolusi Industri Keempat.
Lin, dalam komentarnya yang dimuat Beijing Daily, menepis anggapan bahwa populasi yang menua akan meruntuhkan ekonomi China.
Ia justru menyoroti sebuah "parit pertahanan" ekonomi baru yang sedang dibangun Negeri Tirai Bambu itu. China tidak lagi bertumpu pada pabrik-pabrik padat karya yang memproduksi barang murah, melainkan telah beralih pada keunggulan teknologi yang digerakkan oleh talenta.
Data yang disodorkan Lin cukup membuat kita terhenyak: China kini menghasilkan lebih dari enam juta lulusan universitas di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) setiap tahunnya.
Jumlah ini melampaui gabungan lulusan STEM dari seluruh negara G7 —kelompok tujuh negara ekonomi maju dunia yang mencakup AS, Jepang, dan Jerman.
Fenomena ini menjadi relevan dan mendesak untuk dibedah dalam konteks Indonesia. Mengapa? Karena kita dan China sedang berlari menuju garis finis yang serupa.
Jika China menargetkan "Peremajaan Nasional" pada 2049, Indonesia memiliki mimpi "Indonesia Emas 2045".
Kedua negara sama-sama ingin keluar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap) dan menjadi negara maju di pertengahan abad ini.
Namun, membaca analisis Lin tentang bagaimana China memanfaatkan "keuntungan pendatang baru" dan sistem mobilisasi nasional untuk mendobrak blokade teknologi AS, timbul sebuah pertanyaan reflektif yang menggelitik: Apakah Indonesia sudah berlari di jalur yang benar, atau kita sekadar berjalan di tempat sambil terbuai narasi bonus demografi semu?
Baca juga: Mendagri: Bonus demografi-pembangunan desa kunci Indonesia Emas 2045
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































