Guru Besar UI: FCTC alat tekanan global bagi negara produsen tembakau

1 day ago 10

Jakarta (ANTARA) - Guru besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Prof. Hikmahanto Juwana menyatakan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Internasional tentang Pengendalian Tembakau merupakan alat tekanan global terhadap negara-negara produsen atau penghasil tembakau.

Indonesia sebagai penghasil tembakau, lanjut dia dalam keterangannya di Jakarta, Senin berada dalam tekanan dari berbagai pihak agar mengadopsi ketentuan-ketentuan FCTC ke dalam kebijakan domestik.

Hal itu, termasuk melalui regulasi turunan UU 17/2023 tentang Kesehatan, yakni PP 28/2024, dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang salah satunya mengusulkan kebijakan kemasan polos tanpa identitas merek bagi produk rokok.

"FCTC dianggap sebagai alat tekanan global terhadap negara-negara penghasil tembakau. Indonesia, sebagai salah satu negara yang memiliki ekosistem industri tembakau yang besar dan berakar kuat dalam sejarah dan budaya, secara konsisten menolak meratifikasi perjanjian tersebut," ujarnya.

Baca juga: GAPPRI: PP 28/2024 sarat agenda FCTC ancam kedaulatan ekonomi

Hikmahanto menambahkan, sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo hingga Prabowo Subianto merupakan presiden yang berani mengambil langkah tegas pemerintah dengan tidak meratifikasi FCTC.

"Kami menyebut keputusan ini sebagai bentuk nyata perlindungan terhadap kedaulatan nasional," katanya.

Prof. Hikmahanto mengatakan, meskipun FCTC belum pernah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia sejak diperkenalkan pada 2002, pengaruhnya dinilai telah menyusup secara halus ke sistem hukum nasional, sehingga memunculkan kekhawatiran terkait potensi intervensi pihak asing terhadap kebijakan dalam negeri Indonesia.

Salah satunya seruan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) agar Pemerintah Indonesia segera menerapkan kemasan berstandar polos (plain packaging) bagi seluruh produk tembakau dan nikotin sebelum dilepas ke pasaran.

Oleh karena itu, menurut dia, Indonesia bisa meniru kebijakan Amerika Serikat (AS) walaupun ikut aktif dalam pembentukan berbagai konvensi global, AS kerap menolak untuk meratifikasi jika dirasa tidak sejalan dengan kepentingan nasionalnya.

Baca juga: MPKI minta pemerintah lindungi industri kretek nasional

Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza, memastikan tidak akan memberlakukan kebijakan penyeragaman kemasan (plain packaging) rokok untuk melindungi industri rokok yang sudah memberikan sumbangan besar pada ekonomi Indonesia melalui pajak dan cukai hasil tembakau (CHT).

"Kesepakatan berhasil dicapai usai kami berdiskusi secara langsung dengan Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes), Dante Saksono Harbuwono. Jadi, Wamenkes dengan terbuka menerima dan sampai hari ini kita bahas, termasuk misalnya penyeragaman bungkus itu tidak akan terjadi," ujarnya.

Sementara, Ketua umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan menyatakan, PP 28/2024 memiliki dampak ekonomi yang sangat besar, yakni mencapai Rp182,2 triliun, dengan 1,22 juta pekerja di seluruh sektor terkait terimbas.

PP 28/2024 mengadopsi kebijakan asing atau pengalaman negara lain tanpa mempertimbangkan konteks lokal di Indonesia. Dengan mengadopsi peraturan-peraturan global, sejarah keberadaan budaya lokal kretek terancam hilang.

Selain itu, menurut dia kemasan rokok polos berpotensi mendorong peralihan konsumen ke produk rokok yang lebih murah dan peralihan ke rokok yang tidak jelas asal dan produsennya 2-3 kali lebih cepat dari sebelumnya sebaliknya permintaan produk legal diprediksi turun sebesar 42,09 persen.

"Situasi industri hasil tembakau legal saat ini memerlukan deregulasi. Pemerintah perlu meninjau ulang atau sinkronisasi peraturan satu dengan lainnya sehingga memberikan rasa keadilan demi cita-cita kemandirian ekonomi nasional," kata Henry Najoan.

Pewarta: Subagyo
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |