Jakarta (ANTARA) - “Buku Generasi Emas 2045: Apa yang Membuat Kita Berbeda?” hadir pada saat yang krusial.
Buku itu muncul ketika percakapan tentang masa depan Indonesia kerap berputar di antara dua kegelisahan besar, yakni kecemasan menghadapi kecerdasan buatan dan keyakinan setengah matang bahwa bonus demografi akan otomatis mengantar bangsa ini menuju kejayaan.
Buku ini menolak jalan pintas itu. Karya ini lahir dari dialog panjang lintas generasi dan lintas disiplin dalam Semiloka Indonesian International Education Foundation (IIEF) 2023. Kehadirannya terasa seperti sebuah ajakan untuk berhenti sejenak, menarik napas, lalu menimbang ulang pertanyaan paling mendasar tentang manusia seperti apa yang ingin dibentuk Indonesia untuk menjemput 2045.
Ini menjadi sebuah karya yang menjahit gagasan lintas generasi dan lintas bidang keahlian untuk merumuskan arah baru pembangunan manusia Indonesia.
Semiloka itu melibatkan generasi X, Y, dan Z serta para akademisi, pelaku industri, penggiat pendidikan, dan pemimpin muda dalam dialog yang mendalam mengenai masa depan bangsa di tengah perubahan global yang kian cepat.
Alih-alih terpesona pada kecanggihan teknologi, buku ini secara konsisten mengembalikan pusat gravitasi pembangunan pada manusia.
Digitalisasi, otomasi, dan kecerdasan buatan dipotret bukan sebagai ancaman yang harus ditakuti, juga bukan sebagai solusi ajaib yang disembah, melainkan sebagai alat yang nilainya sangat ditentukan oleh kualitas manusia yang menggunakannya.
Di titik ini, buku ini menawarkan satu pembacaan yang segar dan relevan bahwa Indonesia sesungguhnya memiliki pembeda yang tidak selalu tercatat dalam indeks global, yakni kemampuan adaptasi yang lahir dari keberagaman, daya lenting menghadapi krisis, tradisi gotong royong, serta etos kerja yang tumbuh dari pengalaman panjang hidup dalam keterbatasan dan perubahan.
Namun buku ini tidak jatuh pada romantisme. Modal sosial dan kultural tersebut diakui rapuh jika tidak dipelihara dan ditransformasikan secara sadar melalui sistem pendidikan, kebijakan publik, dan ekosistem kerja yang adil.
Di sinilah analisis buku ini menjadi penting sekaligus menantang pembaca. Gotong royong tidak akan otomatis relevan di dunia kerja masa depan jika sistemnya mendorong kompetisi yang eksploitatif.
Daya adaptasi tidak akan bermakna jika pendidikan masih menekankan hafalan ketimbang berpikir kritis. Buku ini secara implisit mengajak pembacanya untuk mempertanyakan praktik-praktik lama yang diam-diam justru menggerus keunggulan yang selama ini dibanggakan.
Di sinilah buku ini terasa tidak sedang mengajar, melainkan mengajak berpikir.
Direktur IIEF Diana Kartika mengungkapkan bahwa buku ini menjadi bentuk partisipasi IIEF sebagai institusi yang selama ini fokus pada peningkatan kapasitas masyarakat serta perluasan akses pendidikan yang setara bagi warga Indonesia.
“Kami berharap, berbagai pemikiran yang dituangkan dapat menjadi rujukan bagi pemerintah, institusi pendidikan, sektor industri maupun masyarakat dalam merumuskan strategi pembangunan manusia yang adaptif dan berkelanjutan,” katanya.
Ia pun meyakini bahwa sinergi lintas sektor dan generasi menjadi landasan krusial bagi terwujudnya Indonesia yang inklusif dan kompetitif.
Bonus demografi
Pembahasan tentang bonus demografi menjadi salah satu bagian paling reflektif. Buku ini dengan jujur menyebut bahwa usia produktif yang melimpah hanyalah potensi, bukan jaminan.
Tanpa investasi serius pada karakter, kepemimpinan, integritas, dan kemampuan berpikir kritis, bonus demografi bisa berubah menjadi beban sosial.
Di tengah euforia angka dan proyeksi statistik, buku ini mengingatkan bahwa kualitas manusia tidak pernah tumbuh dari kebijakan yang serba instan.
Yang masih bisa didorong lebih jauh adalah pembacaan tentang ketimpangan kualitas SDM antarwilayah dan risiko terciptanya generasi emas yang timpang, cemerlang di pusat tetapi tertinggal di pinggiran.
Salah satu gagasan paling konkret dan strategis yang ditawarkan buku ini adalah urgensi reformasi program magang nasional. Magang tidak diposisikan sebagai formalitas kurikulum, melainkan sebagai jembatan nyata antara dunia pendidikan dan dunia profesional.
Penekanan pada standar kompetensi mentor, kurikulum magang yang jelas, dan evaluasi yang terukur menunjukkan kesadaran bahwa pengalaman kerja tidak boleh diserahkan pada mekanisme pasar semata.
Di sini buku ini membuka ruang diskusi baru yang sangat relevan tentang siapa yang bertanggung jawab memastikan magang menjadi ruang belajar yang bermartabat, bukan sekadar ladang eksploitasi tenaga muda. Negara, industri, dan institusi pendidikan ditantang untuk berbagi peran secara lebih adil dan transparan.
Kehadiran lebih dari 25 kontributor dari beragam disiplin memberi buku ini napas yang luas. Pendidikan, bisnis, kebijakan publik, psikologi, teknologi, hingga perencanaan ruang dibaca sebagai satu ekosistem yang saling terkait.
Tidak ada satu sektor pun yang bisa bekerja sendiri. Meski keragaman ini kadang membuat alur gagasan terasa tidak sepenuhnya homogen, justru di sanalah kekuatannya.
Buku ini menyerupai mosaik pemikiran yang mengingatkan bahwa masa depan bangsa tidak pernah dibangun dari satu sudut pandang tunggal.
Anyaman optimisme
Pernyataan Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad tentang anyaman optimisme di tengah distorsi informasi terasa sebagai simpul emosional buku ini. Optimisme yang ditawarkan bukan optimisme naif, melainkan optimisme yang lahir dari kesadaran penuh akan tantangan.
“Hadirnya buku ini diharapkan menjadi jendela baru bagi para pembaca, membuka sudut pandang yang lebih jernih yang ditaburi keyakinan bahwa masa depan Indonesia dapat ditapaki dengan harapan dan optimisme,” kata Bahrul Fuad,, yang juga salah satu kontributor dalam buku ini.
Di tengah banjir informasi, ketidakpastian global, dan keraguan publik terhadap arah pembangunan, buku ini memilih jalur reflektif yang menyusun harapan dengan kerja intelektual dan dialog lintas generasi.
Buku ini juga menarik ketika menegaskan bahwa keunggulan Indonesia tidak harus dicari dengan meniru sepenuhnya model negara lain.
Keberagaman budaya, kecakapan berkolaborasi, dan sensitivitas sosial justru dapat menjadi fondasi bagi model pembangunan manusia yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Pertanyaan yang mengemuka bukan lagi apakah Indonesia mampu bersaing, melainkan dengan cara apa Indonesia ingin bersaing tanpa kehilangan jati diri.
Sebagai institusi yang lama bergerak di bidang peningkatan kapasitas dan akses pendidikan, posisi IIEF memberi konteks penting pada buku ini. Harapan agar gagasan-gagasan di dalamnya menjadi rujukan kebijakan terasa masuk akal, meski tantangan implementasi tentu besar.
Namun justru di situlah nilai strategis buku ini yang tidak berhenti pada diagnosis, tetapi mendorong pembaca, terutama para pengambil keputusan, untuk berani menata ulang prioritas pembangunan manusia.
Pada akhirnya, buku “Generasi Emas 2045: Apa yang Membuat Kita Berbeda?” bukan sekadar buku tentang masa depan, melainkan cermin untuk masa kini.
Buku ini mengajak pembaca bertanya dengan jujur, apakah sistem yang sedang dibangun hari ini benar-benar sedang menyiapkan manusia Indonesia yang tangguh, berdaya, dan bermakna.
Buku ini mencerahkan tanpa menggurui, kritis tanpa sinis, dan optimistis tanpa menutup mata. Sebuah bacaan yang layak dijadikan teman berpikir bagi siapa pun yang percaya bahwa masa depan bangsa tidak ditentukan oleh teknologi semata, melainkan oleh manusia yang berani memimpin perubahan dengan nilai.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

















































