Jakarta (ANTARA) - Setiap tanggal 5 di bulan kelima dalam kalender lunar China, masyarakat Tionghoa di seluruh dunia merayakan Festival Duanwu atau Festival Perahu Naga, yang di Indonesia juga lazim dikenal sebagai Hari Bakcang.
Perayaan ini memiliki akar sejarah yang dalam dan menyentuh, serta menjadi salah satu momen penting dalam menjaga tradisi budaya, khususnya di kalangan masyarakat Tionghoa. Tahun ini, Hari Bakcang jatuh pada 31 Mei.
Hari Bakcang sendiri berakar dari legenda Qu Yuan, seorang negarawan dan penyair China kuno yang hidup pada periode Negara-Negara Berperang (475-221 SM). Qu Yuan menenggelamkan diri di Sungai Miluo lantaran putus asa setelah dituduh berkhianat dan justru diasingkan karena memberikan nasihat yang bermaksud baik kepada raja.
Masyarakat yang mencintainya kemudian melemparkan bungkusan ketan ke sungai agar ikan tidak memakan jasadnya. Dari situlah muncul tradisi membuat dan menyantap bakcang (zongzi), ketan dengan berbagai isian (daging, kurma, atau gula) dan dibungkus daun.
Bagi masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia, perayaan Hari Bakcang tidak hanya menjadi bentuk penghormatan terhadap leluhur, tetapi juga momen kebersamaan keluarga.
Biasanya anggota keluarga akan berkumpul untuk membuat bakcang bersama, dari menyiapkan bahan, membungkus, hingga memasaknya. Setelah sembahyang, bakcang tersebut dimakan bersama-sama. Aktivitas ini menjadi simbol ikatan kekeluargaan yang kuat sekaligus pelestarian budaya secara turun-temurun.
Tradisi serupa juga masih dilakukan di keluarga Benny (42), seorang wirausahawan muda yang tinggal di Jakarta Barat. Di keluarganya, sang ibu setiap tahun membuat bakcang untuk perayaan tersebut. Tak hanya untuk keluarga sendiri, ibunya juga terkadang membuatkan bakcang untuk keluarga besar atau pesanan teman-teman dekat.

Kepada Xinhua pertengahan Mei lalu, Benny bercerita ibunya biasanya sudah mempersiapkan bahannya sejak jauh-jauh hari. "Kalau memasaknya sih biasanya sehari selesai, tahu-tahu sudah jadi aja," kata Benny sambil tertawa. "Saya suka bakcang ayam dan telur asin di sini," kata Heny Widiastuti (47) saat mengantre di salah satu toko bakcang yang cukup terkenal di Jl. Pangeran Jayakarta, Jakarta Pusat, yang kabarnya bisa memproduksi hingga ribuan bakcang saat perayaan Hari Bakcang.
Menurut karyawan perusahaan swasta di Jakarta Selatan itu, bakcang juga cocok dijadikan pilihan untuk makan siang karena cukup mengenyangkan.
Pembuatan bakcang memang memerlukan ketelatenan tersendiri. Tak hanya soal mengolah bahan ketan atau nasi dan isian dagingnya yang perlu dibumbui dengan cermat sehingga kombinasinya terasa pas. Daunnya pun perlu disiapkan secara khusus. "Daun untuk bungkusnya biasanya harus direbus dulu, kalautidak nanti sulit dibentuk dan aromanya berbeda," kata pemuda bermarga Lim itu menjelaskan.
Meski identik dengan perayaan Festival Perahu Naga, proses akulturasi budaya yang panjang membuat ragam bakcang yang ada di Indonesia kian banyak saat ini. Isian yang digunakan bervariasi, mulai dari daging ayam, daging sapi, daging babi, bahkan telur asin atau jamur sebagai alternatif bagi para vegetarian.
Modifikasi kuliner ini membuat bakcang mudah diterima oleh masyarakat. Alhasil, penganan berbentuk khas limas dengan empat sudut ini pun banyak dijual di toko makanan tradisional maupun modern, dan kerap menjadi pilihan untuk hidangan pertemuan atau bekal di perjalanan.

Lebih dari sekadar makanan, bakcang merupakan simbol identitas, warisan, dan hasil dari dialog antarbudaya yang telah berlangsung berabad-abad. Di balik sebungkus bakcang, terdapat nilai-nilai luhur seperti kesetiaan, pengorbanan, serta pentingnya menjaga tradisi.
Meski demikian, tradisi tidak harus kaku dalam bentuk aslinya, namun dapat terus hidup dan relevan melalui proses adaptasi yang sarat penghargaan terhadap nuansa lokal.
Penerjemah: Xinhua
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2025